Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Maskulinitas Toksik dan Kekerasan

15 Juni 2025   08:07 Diperbarui: 15 Juni 2025   20:52 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan yang responsif gender adalah pilar penting dalam perlindungan korban dan pencegahan kekerasan. Namun, reformasi kebijakan harus dibarengi dengan pelatihan aparat dan pemangku kepentingan agar memahami kompleksitas isu gender.

Langkah-langkah:

  • Memastikan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diimplementasikan secara efektif.
  • Melibatkan perspektif gender dalam perumusan kebijakan pendidikan, media, dan keluarga.
  • Memberikan pelatihan perspektif gender kepada aparat kepolisian, jaksa, hakim, dan tenaga medis.

Transformasi gender tidak dapat terjadi dalam waktu singkat, tetapi memerlukan kesadaran kolektif, kerja lintas sektor, dan upaya berkelanjutan. 

Maskulinitas yang sehat bukanlah lawan dari kejantanan, tetapi wujud kedewasaan emosional, empati, dan relasi yang adil. Masyarakat yang berhasil membongkar budaya maskulinitas toksik akan lebih siap mewujudkan ruang aman dan setara bagi perempuan, anak, dan semua kelompok rentan.

Kesimpulan

Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan fenomena sosial yang kompleks dan multidimensi. Meskipun sering kali dipahami sebagai tindakan kriminal atau pelanggaran hak asasi manusia, akar permasalahan yang lebih dalam terletak pada sistem nilai dan konstruksi sosial yang membentuk relasi gender dalam masyarakat. 

Maskulinitas toksik, sebagai manifestasi ekstrem dari maskulinitas hegemonik, memainkan peran sentral dalam mereproduksi pola-pola kekerasan tersebut.

Melalui pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa maskulinitas toksik tidak muncul secara alamiah, melainkan dibentuk, dipelihara, dan diwariskan melalui berbagai institusi sosial seperti keluarga, media, dan pendidikan. Ia juga diperkuat oleh norma-norma patriarkal yang menempatkan laki-laki sebagai sosok dominan dan superior, sementara perempuan dan anak sebagai pihak yang harus tunduk dan dikendalikan. 

Dalam kondisi ini, kekerasan tidak hanya menjadi tindakan individual, tetapi juga bagian dari sistem sosial yang terstruktur.

Dampak dari maskulinitas toksik sangat luas---tidak hanya bagi perempuan dan anak yang menjadi korban langsung, tetapi juga bagi laki-laki sebagai pelaku dan bagi masyarakat secara keseluruhan. 

Trauma, siklus kekerasan antargenerasi, dan relasi sosial yang tidak setara adalah sebagian dari konsekuensi yang terus menghambat upaya menuju masyarakat yang adil dan setara.

Untuk itu, diperlukan strategi pencegahan dan transformasi yang menyeluruh dan lintas sektor. Pendidikan gender kritis, reformasi media, pelibatan laki-laki dalam gerakan kesetaraan, serta kebijakan publik yang responsif gender harus menjadi bagian dari upaya sistemik dalam membongkar akar maskulinitas toksik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun