Akibat dari konstruksi ini, perilaku laki-laki yang kasar, posesif, atau dominatif tidak hanya diterima, tapi juga dianggap wajar atau bahkan dibenarkan. Dalam situasi ini, kekerasan tidak dipandang sebagai penyimpangan, melainkan sebagai konsekuensi logis dari peran gender yang telah dibentuk secara sosial.
Interseksionalitas dan Kekerasan Gender
Konsep interseksionalitas, yang dikembangkan oleh Kimberl Crenshaw (1991), membantu kita melihat bahwa pengalaman kekerasan tidak hanya dipengaruhi oleh gender, tetapi juga oleh faktor lain seperti usia, kelas sosial, disabilitas, dan etnis. Misalnya, perempuan miskin dan anak-anak dari komunitas marginal sering kali lebih rentan terhadap kekerasan karena keterbatasan akses terhadap perlindungan hukum dan layanan sosial.
Dengan demikian, untuk memahami kekerasan terhadap perempuan dan anak secara mendalam, perlu dipertimbangkan:
- Bagaimana maskulinitas dibentuk dan diperkuat dalam konteks lokal
- Bagaimana ketimpangan gender berinteraksi dengan ketimpangan sosial lainnya
Maskulinitas Toksik sebagai Pemicu Kekerasan
Maskulinitas toksik tidak hanya merupakan konsep teoritis, tetapi juga realitas sosial yang berwujud dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dalam banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia, perilaku pelaku tidak lepas dari dorongan untuk menunjukkan kekuasaan, kontrol, dan superioritas sebagai bentuk pembuktian identitas laki-laki.Â
Nilai-nilai ini tertanam secara kultural sejak masa kanak-kanak dan dipertahankan oleh norma sosial yang jarang mempertanyakan peran dominan laki-laki.
1. Tekanan Sosial terhadap Laki-Laki untuk Tampil "Jantan"
Dalam banyak komunitas, laki-laki dituntut untuk menjadi kuat, tidak emosional, dan dominan. Ekspresi emosi seperti sedih, takut, atau lemah sering kali dianggap "tidak maskulin".Â
Akibatnya, ketika laki-laki menghadapi tekanan emosional atau kegagalan dalam memenuhi peran sosialnya, mereka cenderung merespons dengan agresivitas sebagai bentuk pelampiasan.Â
Kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan seksual terhadap anak dapat muncul sebagai wujud kompensasi atas rasa tidak berdaya atau krisis identitas yang dialami.
Contoh kasus: Laki-laki yang kehilangan pekerjaan dan merasa gagal sebagai pencari nafkah utama kadang melampiaskan frustasinya melalui kekerasan terhadap istri atau anak sebagai bentuk kontrol simbolik.