Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Maskulinitas Toksik dan Kekerasan

15 Juni 2025   08:07 Diperbarui: 15 Juni 2025   20:52 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akibat dari konstruksi ini, perilaku laki-laki yang kasar, posesif, atau dominatif tidak hanya diterima, tapi juga dianggap wajar atau bahkan dibenarkan. Dalam situasi ini, kekerasan tidak dipandang sebagai penyimpangan, melainkan sebagai konsekuensi logis dari peran gender yang telah dibentuk secara sosial.

Interseksionalitas dan Kekerasan Gender

Konsep interseksionalitas, yang dikembangkan oleh Kimberl Crenshaw (1991), membantu kita melihat bahwa pengalaman kekerasan tidak hanya dipengaruhi oleh gender, tetapi juga oleh faktor lain seperti usia, kelas sosial, disabilitas, dan etnis. Misalnya, perempuan miskin dan anak-anak dari komunitas marginal sering kali lebih rentan terhadap kekerasan karena keterbatasan akses terhadap perlindungan hukum dan layanan sosial.

Dengan demikian, untuk memahami kekerasan terhadap perempuan dan anak secara mendalam, perlu dipertimbangkan:

  • Bagaimana maskulinitas dibentuk dan diperkuat dalam konteks lokal
  • Bagaimana ketimpangan gender berinteraksi dengan ketimpangan sosial lainnya

Maskulinitas Toksik sebagai Pemicu Kekerasan

Maskulinitas toksik tidak hanya merupakan konsep teoritis, tetapi juga realitas sosial yang berwujud dalam kehidupan sehari-hari. 

Dalam banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia, perilaku pelaku tidak lepas dari dorongan untuk menunjukkan kekuasaan, kontrol, dan superioritas sebagai bentuk pembuktian identitas laki-laki. 

Nilai-nilai ini tertanam secara kultural sejak masa kanak-kanak dan dipertahankan oleh norma sosial yang jarang mempertanyakan peran dominan laki-laki.

1. Tekanan Sosial terhadap Laki-Laki untuk Tampil "Jantan"

Dalam banyak komunitas, laki-laki dituntut untuk menjadi kuat, tidak emosional, dan dominan. Ekspresi emosi seperti sedih, takut, atau lemah sering kali dianggap "tidak maskulin". 

Akibatnya, ketika laki-laki menghadapi tekanan emosional atau kegagalan dalam memenuhi peran sosialnya, mereka cenderung merespons dengan agresivitas sebagai bentuk pelampiasan. 

Kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan seksual terhadap anak dapat muncul sebagai wujud kompensasi atas rasa tidak berdaya atau krisis identitas yang dialami.

Contoh kasus: Laki-laki yang kehilangan pekerjaan dan merasa gagal sebagai pencari nafkah utama kadang melampiaskan frustasinya melalui kekerasan terhadap istri atau anak sebagai bentuk kontrol simbolik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun