Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Maskulinitas Toksik dan Kekerasan

15 Juni 2025   08:07 Diperbarui: 15 Juni 2025   20:52 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2. Normalisasi Kekerasan sebagai Simbol Kekuasaan

Di banyak lingkungan sosial, kekerasan dipandang bukan sebagai penyimpangan, melainkan sebagai bentuk disiplin, ketegasan, atau kepemimpinan. Peran laki-laki sebagai "pemimpin keluarga" sering dimaknai secara otoriter, di mana kekerasan dianggap sah sebagai alat untuk mempertahankan otoritas. 

Dalam konteks ini, perempuan dan anak diposisikan sebagai pihak yang harus "taat", bukan sebagai individu dengan otonomi penuh.

Studi oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku KDRT menyatakan bahwa tindakan mereka bertujuan "mendidik" istri atau anak, yang menunjukkan kuatnya normalisasi kekerasan dalam relasi kuasa rumah tangga.

3. Reproduksi Maskulinitas Toksik dalam Relasi Sosial

Maskulinitas toksik direproduksi melalui interaksi sosial dan pengaruh kelompok sebaya (peer pressure). Dalam lingkungan remaja laki-laki, misalnya, perilaku agresif atau objektifikasi perempuan sering dianggap sebagai bentuk solidaritas atau "kedewasaan". 

Hal ini memperkuat pola pikir bahwa kekerasan dan dominasi adalah ciri utama kedewasaan laki-laki.

Contoh: Dalam survei terhadap siswa SMA, ditemukan bahwa laki-laki yang menunjukkan sikap posesif dan kontrol berlebihan terhadap pacarnya justru dianggap "setia" atau "melindungi" oleh teman sebayanya.

4. Peran Ketimpangan Sosial-Ekonomi

Kondisi ekonomi yang sulit juga berperan memperkuat dinamika maskulinitas toksik. Ketika laki-laki merasa gagal dalam perannya sebagai pencari nafkah, mereka bisa mengalami krisis maskulinitas. 

Jika nilai-nilai alternatif maskulinitas tidak tersedia (misalnya sebagai ayah yang suportif, atau pasangan yang setara), maka respons yang muncul adalah kekerasan---baik verbal, emosional, maupun fisik.

Dari penjelasan di atas, tampak jelas bahwa maskulinitas toksik tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan diproduksi secara sosial dan kultural dalam sistem yang patriarkal. Kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi efek samping sistemik dari nilai-nilai maskulin yang tidak sehat, bukan sekadar tindakan individu yang menyimpang.

Representasi Maskulinitas dalam Media dan Pendidikan

Maskulinitas toksik tidak hanya hidup dalam interaksi langsung, tetapi juga diperkuat secara masif melalui media dan sistem pendidikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun