Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Maskulinitas Toksik dan Kekerasan

15 Juni 2025   08:07 Diperbarui: 15 Juni 2025   20:52 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini menghambat generasi muda untuk mengembangkan pemahaman yang kritis terhadap peran gender yang mereka mainkan dan saksikan setiap hari.

Dalam studi oleh Yayasan Pulih (2022), hanya 12% siswa SMA di Jakarta yang dapat menyebutkan contoh perilaku kekerasan dalam pacaran, sementara 40% menganggap kontrol terhadap pasangan adalah bentuk perhatian yang wajar.

Tanpa intervensi terhadap representasi gender dalam media dan pendidikan, maskulinitas toksik akan terus dilestarikan secara kultural. Diperlukan pendekatan sistemik untuk menyisipkan narasi alternatif---yakni maskulinitas yang sehat, setara, dan empatik---dalam media arus utama dan sistem pendidikan formal.

 Implikasi Sosial dan Psikologis

Maskulinitas toksik bukan hanya persoalan nilai yang keliru atau norma budaya yang ketinggalan zaman, melainkan suatu sistem sosial yang menimbulkan dampak luas, baik terhadap individu pelaku, korban, maupun masyarakat secara keseluruhan. 

Kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dipicu oleh nilai-nilai maskulin dominatif tidak dapat dipahami sebagai kasus terisolasi, melainkan sebagai gejala dari pola relasi sosial yang tidak sehat dan timpang.

1. Dampak terhadap Perempuan dan Anak sebagai Korban

Korban kekerasan, terutama perempuan dan anak, mengalami dampak multidimensi yang sering kali bersifat jangka panjang. Beberapa dampak tersebut meliputi:

  • Dampak psikologis: rasa takut, trauma, depresi, kecemasan kronis, gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan kehilangan harga diri.
  • Dampak fisik: luka, cacat permanen, masalah kesehatan reproduksi (pada kasus kekerasan seksual).
  • Dampak sosial: stigma sosial, pengucilan, kehilangan akses pendidikan, dan peran sosial.
  • Dampak ekonomi: kehilangan pekerjaan, ketergantungan ekonomi, dan keterbatasan mobilitas.

Dalam konteks anak, kekerasan yang dialami juga dapat menghambat perkembangan emosional dan kognitif, serta meningkatkan risiko perilaku agresif atau menarik diri dari lingkungan sosial.

Penelitian oleh WHO (2021) menunjukkan bahwa anak yang menyaksikan kekerasan di rumah berisiko dua kali lipat untuk menjadi pelaku atau korban kekerasan saat dewasa.

2. Dampak terhadap Laki-laki Pelaku

Meskipun sering dianggap sebagai pihak yang dominan, laki-laki juga menjadi korban dari sistem maskulinitas toksik yang membatasi ekspresi emosional dan hubungan yang sehat. Tekanan sosial untuk menjadi "jantan" dan kuat menyebabkan banyak laki-laki:

  • Tidak mampu membangun komunikasi emosional yang sehat,
  • Mengalami keterasingan emosional dan kesulitan menjalin hubungan,
  • Mengalami stres dan gangguan psikologis yang tersembunyi karena ketidakmampuan mengelola emosi,
  • Menggunakan kekerasan sebagai satu-satunya saluran ekspresi frustasi dan kegagalan.

Dalam jangka panjang, pelaku kekerasan juga dapat mengalami penyesalan, keterasingan sosial, atau keterlibatan dalam sistem peradilan pidana yang merusak masa depan mereka sendiri.

3. Siklus Kekerasan dan Warisan Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun