Peran-peran tradisional seperti laki-laki sebagai kepala keluarga, pencari nafkah utama, atau pengambil keputusan, turut membentuk ekspektasi sosial terhadap "kejantanan" yang tidak sehat. Ketika ekspektasi tersebut gagal dipenuhi, kekerasan sering kali muncul sebagai bentuk kompensasi atau pembuktian diri.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji peran maskulinitas toksik dan konstruksi gender dalam memicu kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.Â
Dengan menggunakan pendekatan sosiologis dan kultural, tulisan ini tidak hanya berupaya memahami penyebab kekerasan dari sisi pelaku, tetapi juga menawarkan refleksi kritis atas nilai-nilai gender yang terus direproduksi dalam masyarakat.
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi kontribusi dalam membongkar akar kekerasan berbasis gender dan mendorong transformasi sosial menuju relasi yang lebih adil dan setara.
Konsep Maskulinitas Toksik
Maskulinitas toksik merujuk pada bentuk ekspresi identitas laki-laki yang menekankan dominasi, agresivitas, dan kontrol emosional yang berlebihan.
Istilah ini tidak menyatakan bahwa semua maskulinitas bersifat negatif, melainkan menunjuk pada dimensi maskulinitas yang merusak baik bagi laki-laki itu sendiri maupun orang di sekitarnya. Karakteristik maskulinitas toksik antara lain:
- Penolakan terhadap kerentanan dan empati
- Pemaksaan kekuasaan atas perempuan dan anak
- Penggunaan kekerasan sebagai simbol kekuatan dan kontrol
Menurut Raewyn Connell (2005), konsep hegemonic masculinity atau maskulinitas hegemonik menjelaskan bagaimana bentuk dominan dari maskulinitas dipelihara oleh sistem sosial untuk mempertahankan superioritas laki-laki atas perempuan dan subordinasi laki-laki lain yang tidak memenuhi standar maskulinitas dominan.Â
Maskulinitas hegemonik bersifat normatif dan dilembagakan melalui media, institusi pendidikan, serta sistem hukum dan budaya.
Dalam konteks ini, maskulinitas toksik menjadi pemicu utama kekerasan berbasis gender karena:
- Mendorong laki-laki untuk menunjukkan kontrol atas perempuan dan anak
- Menekan ekspresi emosional sehat, yang kemudian bermanifestasi sebagai kemarahan dan kekerasan
- Menginternalisasi norma bahwa dominasi adalah bagian dari identitas laki-laki sejati
 Konstruksi Gender dalam Masyarakat Patriarkal
Konstruksi gender merujuk pada proses sosial dan kultural yang membentuk identitas, peran, dan ekspektasi terhadap individu berdasarkan jenis kelamin mereka. Dalam masyarakat patriarkal seperti Indonesia, peran gender didasarkan pada dikotomi:
- Laki-laki dianggap rasional, kuat, pengambil keputusan
- Perempuan dianggap emosional, lemah, dan bergantung
Konstruksi ini tidak bersifat biologis, tetapi dibentuk dan dilanggengkan melalui berbagai institusi sosial seperti keluarga, agama, media, dan pendidikan. Judith Butler (1990) menyatakan bahwa gender adalah performatif, artinya peran-peran gender terus diciptakan dan diperkuat melalui tindakan sehari-hari.