Tenda yang disiapkan oleh rumah sakit untuk pengungsi cukup banyak. Pemerintah juga membantu dalam konstribusi penyiapan tenda, air bersih, dan makanan. Sudah 2 minggu aku dan Senja menjadi pengungsi. Kami semakin akrab, dan bercerita satu sama lain ketika ada waktu luang. Kenapa waktu luang? Karena kami mengisi keseharian kami dengan membantu petugas untuk membantu warga sesama pengungsi. Awalnya aku tidak menyangka ketika petugas yang dibantu memberikan kami upah. Walaupun tidak banyak, tapi bisa ditabung untuk masa depan. Aku tidak bisa pulang sekarang. Sistem komunikasi dan teknologi seperti tv masih putus di kota ini. Belum sempat perbaikan. Sistem transportasi belum juga jalan, tetapi pemerintah kota ini dan gubernur sudah mengirim bantuan. Juga yang terpenting... aku tidak memiliki cukup ongkos untuk kembali ke kampung halaman. Aku telah memutuskan agar Senja ikut denganku pulang kampung. Senja sudah tidak memiliki kerabat lain selain ibunya. Terkadang, Senja masih suka diam-diam sedih memikirkan ibunya. Disaat itu aku mendadak jadi bijak. Laut Si pemberi nasihat kepada Senja. Awalnya, aku putus asa ketika kejadian gempa beberapa minggu lalu. Tapi ketika merenung, aku sadar bahwa di dalam kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Kita harus bisa memeluk seluruh kenangan. Akhirnya, kami berdua bekerjasama untuk mendapatkan uang hasil kerja kami membantu petugas, agar kami bisa kami kumpulkan dan segera pulang ke kampung halaman ku. Kota Sam.
2 bulan berlalu dengan cepat. Rumah-rumah sudah dibangun kembali, transportasi sudah mulai melintasi jalanan, situasi benar-benar bisa dibilang jauh lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya. Uang yang kukumpulkan bersama Senja sudah cukup banyak. Seminggu lagi kami akan berangkat. Kami berencana menaiki bus terlebih dahulu menuju pelabuhan. Aku harus segera kembali ke rumah, aku tidak mau membuat ibu khawatir. “Apakah uang kita sudah cukup untuk pergi ke kampung halamanmu, Laut?” Tanya Senja, melawan lamunanku. Aku mengangguk, tersenyum. “Kita berangkat minggu depan”.
Selama kejadian gempa bumi, udara terasa sesak. Gas metana mengarungi berbagai wilayah. Beberapa minggu yang lalu aku mengetahui bahwa gempa yang terjadi berskala 9,4 SR dari petugas yang mengedarkan informasi selama di lapangan bola, tempat ku dan Senja mengungsi. Tangis kesedihan dari banyak pengungsi, membuatku selalu teringat dengan kejadian ku. Tapi Senja selalu menghiburku. Dia teman terbaikku.
Matahari cerah, cahayanya menyinari bumi dengan begitu hangatnya. Hari ini, pagi ini, aku dan Senja akan pergi ke kampung halamanku. Setelah melintasi jalanan menggunakan bus, kami tiba di pelabuhan beberapa jam setelahnya. Kapal besar dinaiki oleh beberapa orang. Tidak banyak. Teringat ketika aku dan banyak peserta lomba lainnya menaiki kapal. Perjalanan cukup jauh, hingga matahari turun di sebelah barat. Aku sadar, bahwa tidak ada kehidupan tanpa adanya masalah. Semua punya rintangan masing-masing. Sebanyak apapun masalah yang dihadapi jangan pernah menyerah, jangan pernah mengira bahwa hidup mu akan berakhir begitu saja. Pasti ada sesuatu yang membuat mu sadar dan kembali bersemangat. Di hidupku, Senja yang membuatku kembali melanjutkan hidup. Semua harus dibangun dari awal untuk mencapai masa depanmu selanjutnya. Jangan pernah takut untuk menentukan dan memilih keinginan mu untuk melanjutkan hidup agar kembali menjadi baik.
Angin menerpa wajahku, pelabuhan tempat tujuan sudah mulai terlihat. Kota Sam. Ibu, maaf aku tidak pernah mengabarimu kemana saja aku selama ini. Tapi aku selamat. Maaf membuatmu khawatir. Sekarang, aku pulang. Bersama seseorang yang membuatku melanjutkan hidup.
Penulis : Livia Devina Mamahi