Mohon tunggu...
Livia Devina Mamahi
Livia Devina Mamahi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajaran Sekolah

Hai. Saya Livia Devina Mamahi. Panggil saja Vina. Diumur 15 tahun ini, hal yang selalu membuat kepikiran adalah mengisi kesibukan. Kesibukan yang dimaksud adalah kesibukan yang tidak biasa-biasa saja. Saya suka nonton, tapi kalau dipikir-pikir kurang tenang jika tidak menghasilkan sesuatu. Maka dari itu, kesempatan emas ini akan saya jadikan lapak untuk berbagi cerita dengan menjadi penulis. Mohon tunggu karya-karya saya selanjutnya!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Aku Laut, tapi Ini Bukan tentang Laut

2 April 2023   12:52 Diperbarui: 7 April 2023   13:06 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bangunan yang runtuh. (sumber: pixabay.com/Peter H)

   Kisah ini sudah 10 tahun berlalu. Tapi tak bisa kulupakan, bahkan tak akan kulupakan. Kisah yang membekas di hati dan pikiranku selama ini, membuatku sakit hati. Sedih, kecewa, marah, dan bingung, semua tercampur aduk.  Semua berawal ketika usiaku 15 tahun, kelas 1 SMA. Namaku Laut, seorang remaja laki-laki yang selalu menggunakan topi berbahan jeans di kepala. 13 September, 2008. Hari dimana aku berangkat ke sebuah kota yang berada di luar pulau untuk mengkuti lomba bulutangkis solo mewakili sekolahku yang berada di kota Sam. Sebagai peserta, aku mendapat akses berangkat dengan menaiki sebuah kapal besar dan melihat betapa ramainya kapal itu. Tidak hanya pemain bulutangkis saja yang ikut menjadi perwakilan sekolahnya masing-masing. Mereka semua berasal dari kota yang sama, kota Sam. Jika kulihat dari pakaian mereka, ada pemain sepak bola, penari, pemain basket, dan lain-lain. Aku tidak mengenal satu pun dari mereka, dan akhirnya memutuskan untuk diam dan melihat pemandangan lautan. Tidak tertarik.

   8 Jam berlalu lama sekali. Kami sudah tiba di pelabuhan tujuan, dan dipandu untuk menaiki sebuah bus yang telah dibagi menjadi beberapa kategori. Perwakilan lomba bulutangkis solo menaiki bus 1, perwakilan lomba sepak bola menaiki bus 2, 3, dan 4, perwakilan lomba basket menaiki bus 5 dan 6, perwakilan lomba menari menaiki bus 7 dan 8, dan sisanya sampai bus 14. Aku menaiki bus itu sambil membawa koper dan memilih duduk di tengah-tengah bus. “Permisi, sebelahmu kosong kan?” Seseorang menghampiriku ketika sedang memperbaiki posisi duduk. Aku mengangguk. “Aku Alan, dari SMA Nusa Putra. Kamu siapa?” Dia bertanya. “Langit, dari SMA Semesta” jawabku. Alan menjadi teman pertamaku di rombongan peserta. Kami bercerita tentang sekolah, kegiatan bulutangkis, ingin kuliah dimana, dan kami juga berbagi makanan. Seharusnya bus tiba 1 jam kemudian. Tapi kejadian tak terduga menimpa kami ketika bus baru berjalan 32 menit setelahnya. Bus terasa bergetar hebat. Tidak hanya aku yang merasa begitu. Alan dan penumpang bus 1 juga merasakan hal yang sama. Sopir bus menghentikan bus dan hendak keluar untuk memeriksa keadaan sekitar. Ada apa?

   Ketika sopir keluar hendak memeriksa sekitar, guncangan semakin dahsyat. Dan bus kami tiba-tiba terbalik menimpa sopir bus yang tadi hendak keluar. Seisi bus berteriak. Barang-barang kami berjatuhan begitu juga dengan kami yang terbanting. Klason bersahut-sahutan dan suara-suara berteriak meminta tolong memekakkan telinga.

Duarrr

   Aku menoleh kebelakang. Tiang listrik yang berada di dekat tempat kami berhenti, menghantam bagian bus belakang, membuat roboh setengah atap bus. Tidak ada suara teriakan lagi di bagian belakang. Peserta perwakilan lomba bulutangkis solo yang duduk di belakang telah tertimpa tiang litrik itu. Nyala api mulai terlihat. Semakin besar dan semakin besar sampai menjalar ke bagian depan bus. Suara panik dan tangisan mulai terdengar. Kami yang masih tersisa berlarian menuju pintu keluar dengan posisi bus yang masih terbalik. Sesak sekali rasanya. Peserta lomba yang berada di depan dan beberapa peserta lomba yang berada di tengah berlari cepat untuk keluar dari bus. Saling bertubrukan satu sama lain. Tidak ada yang ingin mengalah. Tapi aku dan Alan tetap memutuskan untuk memberi jalan.

Brukkk

Aku menatap ngeri. Lihatlah! pintu bus yang telah terbakar oleh api itu roboh dan jatuh ke arah peserta lomba yang barusan keluar. Api menjalar ke tubuh mereka satu persatu. Tubuh mereka hangus terbakar. Guncangan masih berlangsung. Keringat dingin bercucuran di tubuh ku. Hanya tersisa aku dan Alan yang masih berada di dalam bus yang hampir hangus seluruhnya. “Tolong! Siapapun tolong aku!” Aku dan Alan menoleh ke sumber suara. Ternyata masih ada peserta yang selamat dari runtuhan pintu berapi. Aku benar-benar ingin menjaga keselamatanku, seperti yang ibu pesankan padaku untuk bisa menjaga diri sebelum berangkat ke kapal. Tapi entah kenapa kaki ku bergerak sendiri. Aku berlari ke arah peserta yang masih selamat itu. Menolongnya selagi sempat. “LAUT! AWASS!” Eh? Alan?

  Tepat guncangan itu berhenti, aku mematung. Kenapa malah seperti ini? Alan baru saja mendorongku. Melindungiku dari bongkahan atap bus yang runtuh. Menggantikan posisi ku yang seharusnya aku korbannya. Lihatlah..Alan tertimpa bongkahan atap bus dan sekarang memejamkan matanya. Seseorang yang hendak kuselamatkan tadi, juga sudah meninggalkan dunia selama-lamanya. Kenapa malah seperti ini? Aku tidak tahan untuk menangis. Aku terisak. Sial..SIALANNN! Padahal aku baru saja bertemu dengan seorang yang mau mengajakku bicara. Alan sudah kuanggap teman. Beberapa menit yang lalu kita masih bertukar cerita. Dan sekarang dia meninggalkanku selamanya. Aku mengamati sekitar sambil mengusap air mata. Gedung-gedung besar roboh, rumah hancur, pohon dan tiang listrik jatuh, orang-orang tertimpa. Bus-bus yang dinaiki peserta kategori lain juga mengalami hal yang sama. Aku menyadari bahwa terjadi gempa, entah skala berapa tetapi itu guncangan yang besar sekali. Koper yang kubawa sudah hangus duluan di bagasi bus. Apa yang harus kulakukan sekarang? Sekarang, yang kulakukan hanya duduk sambil menutup wajahku dengan kedua tangan. Apa aku juga akan seperti mereka? Apa yang harus kulakukan..

“Astaga, syukurlah..masih ada yang selamat!” Kata seseorang. Eh, siapa? Bukankah tadi tidak ada siapa-siapa? Aku mendongak. “Apa yang kaulakukan? Ayo berdiri, ikut aku!” Sebelum aku berdiri, orang itu telah menarik tanganku.

   Kami berhenti di salah satu BRT (Bus Rapid Transit) yang keadaannya cukup mengenaskan, akan tetapi masih bisa dijadikan tempat berteduh sementara. Nafas kami tersenggal karena harus berlari dari kobaran api yang menjalar sepanjang jalan di beberapa tempat. Seorang yang membawa ku adalah seorang gadis yang mengenakan seragam SMA. “Kamu baik-baik saja?” Dia bertanya. Aku mengangguk. “Aku Senja. Kalau boleh tau, namamu siapa?” Dia tersenyum, membuat suasana tidak terlalu tegang. “Eh? Ee..Laut” Jawabku gugup lalu menatap gadis itu. “Habis sekolah?” Tanyaku. “Ah iya. Aku hendak pulang tapi malah seperti ini. Aku kira aku sendirian, jadi aku senang menemukan mu”. Begitu ya, kami sama-sama hendak ke tempat tujuan tapi terhalang gempa. Masalahnya, aku tidak tahu apa-apa tentang kota ini. Apalagi keadaan sedang susah. Bagaimana caraku bertahan hidup? Tidak ada pilihan lain selain harus memulai semuanya dari awal. Ini semua supaya aku bisa kembali ke kampung halaman dan menghubungi ibu. “Laut, mau temani aku ke rumah sakit? Ibu ku menjadi perawat di sana. Semoga ibu baik-baik saja. Mungkin rumah sakit sedang meninjaklanjuti sistem kesehatan. Semoga ada pencerahan di sana” Tawar Senja. Aku menggangguk mantab, inilah kesempatan untuk bertahan hidup. Semoga rumah sakit dan ibu Senja baik-baik saja. Kami akhirnya berjalan kaki menuju rumah sakit tanpa komunikasi apapun. Aku tahu situasinya, aku yakin Senja sedang mengkhawatirkan ibunya. Setelah berjalan setengah jam, peristiwa tidak mengenakkan hati terjadi kembali. Rumah sakit roboh dan hanya menyisakan beberapa tenda, tandu, beberapa alat medis seadanya dan lokasi berpindah di seberang rumah sakit tepatnya lapangan bola. Ketika kami memasuki area lapangan bola, kabar tragis terjadi ketika salah satu rekan kerja ibu Senja mengabari sesuatu. Kami menerima kabar bahwa ibu Senja meninggal dunia akibat terjepit reruntuhan. Jenazah sudah dievakuasi bersma jenazah yang lainnya. Senja menangis sejadi-jadinya. Dia tidak tahu bahwa akan terjadi seperti ini. Aku menepuk pundaknya, memberi semangat dan menopangnya untuk berteduh di salah satu tenda.

   Tenda yang disiapkan oleh rumah sakit untuk pengungsi cukup banyak. Pemerintah juga membantu dalam konstribusi penyiapan tenda, air bersih, dan makanan. Sudah 2 minggu aku dan Senja menjadi pengungsi. Kami semakin akrab, dan bercerita satu sama lain ketika ada waktu luang. Kenapa waktu luang? Karena kami mengisi keseharian kami dengan membantu petugas untuk membantu warga sesama pengungsi. Awalnya aku tidak menyangka ketika petugas yang dibantu memberikan kami upah. Walaupun tidak banyak, tapi bisa ditabung untuk masa depan. Aku tidak bisa pulang sekarang. Sistem komunikasi dan teknologi seperti tv masih putus di kota ini. Belum sempat perbaikan. Sistem transportasi belum juga jalan, tetapi pemerintah kota ini dan gubernur sudah mengirim bantuan. Juga yang terpenting... aku tidak memiliki cukup ongkos untuk kembali ke kampung halaman. Aku telah memutuskan agar Senja ikut denganku pulang kampung. Senja sudah tidak memiliki kerabat lain selain ibunya. Terkadang, Senja masih suka diam-diam sedih memikirkan ibunya. Disaat itu aku mendadak jadi bijak. Laut Si pemberi nasihat kepada Senja.  Awalnya, aku putus asa ketika kejadian gempa beberapa minggu lalu. Tapi ketika merenung, aku sadar bahwa di dalam kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Kita harus bisa memeluk seluruh kenangan. Akhirnya, kami berdua bekerjasama untuk mendapatkan uang hasil kerja kami membantu petugas, agar kami bisa kami kumpulkan dan segera pulang ke kampung halaman ku. Kota Sam.

   2 bulan berlalu dengan cepat. Rumah-rumah sudah dibangun kembali, transportasi sudah mulai melintasi jalanan, situasi benar-benar bisa dibilang jauh lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya. Uang yang kukumpulkan bersama Senja sudah cukup banyak. Seminggu lagi kami akan berangkat. Kami berencana menaiki bus terlebih dahulu menuju pelabuhan. Aku harus segera kembali ke rumah, aku tidak mau membuat ibu khawatir. “Apakah uang kita sudah cukup untuk pergi ke kampung halamanmu, Laut?” Tanya Senja, melawan lamunanku. Aku mengangguk, tersenyum. “Kita berangkat minggu depan”.

   Selama kejadian gempa bumi, udara terasa sesak. Gas metana mengarungi berbagai wilayah. Beberapa minggu yang lalu aku mengetahui bahwa gempa yang terjadi berskala 9,4 SR dari petugas yang mengedarkan informasi selama di lapangan bola, tempat ku dan Senja mengungsi. Tangis kesedihan dari banyak pengungsi, membuatku selalu teringat dengan kejadian ku. Tapi Senja selalu menghiburku. Dia teman terbaikku.

   Matahari cerah,  cahayanya menyinari bumi dengan begitu hangatnya. Hari ini, pagi ini, aku dan Senja akan pergi ke kampung halamanku. Setelah melintasi jalanan menggunakan bus, kami tiba di pelabuhan beberapa jam setelahnya. Kapal besar dinaiki oleh beberapa orang. Tidak banyak. Teringat ketika aku dan banyak peserta lomba lainnya menaiki kapal. Perjalanan cukup jauh, hingga matahari turun di sebelah barat. Aku sadar, bahwa  tidak ada kehidupan tanpa adanya masalah. Semua punya rintangan masing-masing. Sebanyak apapun masalah yang dihadapi jangan pernah menyerah, jangan pernah mengira bahwa hidup mu akan berakhir begitu saja. Pasti ada sesuatu yang membuat mu sadar dan kembali bersemangat. Di hidupku, Senja yang membuatku kembali melanjutkan hidup. Semua harus dibangun dari awal untuk mencapai masa depanmu selanjutnya. Jangan pernah takut untuk menentukan dan memilih keinginan mu untuk melanjutkan hidup agar kembali menjadi baik.

   Angin menerpa wajahku, pelabuhan tempat tujuan sudah mulai terlihat. Kota Sam. Ibu, maaf aku tidak pernah mengabarimu kemana saja aku selama ini. Tapi aku selamat. Maaf membuatmu khawatir. Sekarang, aku pulang. Bersama seseorang yang membuatku melanjutkan hidup.

Penulis : Livia Devina Mamahi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun