Tagar #KaburAjaDulu yang mencuat di awal 2025 bukan sekadar tren media sosial, tetapi mencerminkan keresahan struktural generasi muda Indonesia terhadap kondisi dalam negeri. Berdasarkan laporan Indikator Politik Indonesia, sekitar 52 persen pemuda berusia 20--35 tahun menyatakan keinginan untuk tinggal atau bekerja di luar negeri sebuah angka yang menunjukkan adanya krisis kepercayaan terhadap peluang domestik.
Lebih dari sekadar ingin "pergi", narasi ini merepresentasikan kekecewaan kolektif atas sistem ekonomi, politik, dan sosial yang dianggap belum memihak generasi produktif. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Hermanto Siregar dari IPB dalam wawancara dengan Kompas, "Fenomena brain drain ini bukan karena kurang cinta tanah air, tapi karena tanah air belum cukup memberi harapan."
Desakan Logis di Balik Tren
Pernyataan Prof. Hermanto sejalan dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO), yang menunjukkan bahwa pada 2024, tingkat pengangguran pemuda usia 15--24 tahun di Indonesia mencapai 16 persen, jauh di atas tingkat pengangguran nasional sebesar 4,76 persen. Ini menandakan bahwa lebih dari satu dari tujuh anak muda usia produktif tidak memiliki pekerjaan.
Menurut Dr. Wijayanto Samirin (Universitas Paramadina), ketimpangan ini terjadi karena minimnya koneksi antara pendidikan dan kebutuhan industri. Ia menyebut, "Indonesia sedang mengalami mismatch yang serius antara lulusan perguruan tinggi dan lapangan kerja yang tersedia."
Jumlah Emigrasi dan Likuidasi Talenta
Data dari Kementerian Luar Negeri mencatat bahwa pada periode 2019--2022, sebanyak 3.912 Warga Negara Indonesia (WNI) berpindah kewarganegaraan ke Singapura. Selain itu, laporan World Bank memperkirakan bahwa sekitar 12 persen tenaga kerja Indonesia yang berpendidikan tinggi kini bekerja di luar negeri, menjadikan Indonesia salah satu negara dengan risiko tinggi kehilangan talenta.
Akibatnya, sektor-sektor strategis seperti teknologi, kesehatan, dan riset mengalami defisit sumber daya manusia. Dalam laporan Cornell University & Gallup (2023), disebutkan bahwa negara-negara yang kehilangan 1 juta talenta dapat mengalami kerugian hingga USD 442 miliar per tahun dalam bentuk inovasi, produktivitas, dan potensi ekonomi.
Narasi Positif: Diaspora Sebagai Aset?
Namun, tidak seluruhnya negatif. Budi Setiyono, Deputi Kerjasama Internasional BKKBN, menyebut bahwa brain drain juga membawa sisi positif berupa kontribusi diaspora Indonesia dalam bentuk remitansi. Pada 2024, jumlah remitansi dari luar negeri yang dikirimkan oleh pekerja migran Indonesia mencapai Rp253 triliun.
Selain itu, diaspora juga menjadi duta budaya dan sumber jejaring global. Menurut Prof. Tadjuddin Noer Effendi (UGM), "Jika dikelola dengan baik, diaspora bisa menjadi katalis pembangunan melalui transfer ilmu, modal, dan koneksi internasional."
Solusi: Rebut Kembali Kepercayaan Anak Muda
Pemerintah perlu segera merespons fenomena ini dengan strategi sistemik, bukan pendekatan simbolik. Beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan antara lain:
Meningkatkan kualitas dan kuantitas lapangan kerja profesional. Investasi harus diarahkan pada sektor padat karya modern dan teknologi.
Revitalisasi pendidikan vokasi dan kurikulum adaptif. Data Indikator menunjukkan bahwa banyak lulusan merasa pendidikan mereka tidak relevan dengan dunia kerja.
Mendorong kepulangan diaspora melalui insentif seperti dana riset, tax holiday, atau dukungan inkubasi startup bagi profesional yang kembali.
Mengubah narasi bela negara. Bela negara bukan sekadar militerisme, tetapi juga kontribusi ekonomi, sosial, dan budaya yang nyata.
Fenomena #KaburAjaDulu bukan hanya bentuk kekecewaan, tetapi juga cermin kegagalan sistemik. Namun, jika ditanggapi secara serius, ini bisa menjadi momentum reformasi nasionalisme baru: bukan sekadar tinggal di Indonesia, tetapi ikut membangun Indonesia di manapun kaki berpijak.
Dengan menciptakan sistem yang adil, inklusif, dan membuka ruang partisipasi generasi muda, negara tak perlu memaksa anak mudanya untuk tinggal. Mereka akan memilih untuk kembali. Dengan cinta, bukan karena terpaksa.
Refrensi
Indikator Politik Indonesia. (2025). Survei Nasional Persepsi Generasi Muda terhadap Peluang Hidup di Indonesia.Â
Kompas.com. (2025, 3 Februari). Prof. Hermanto: Brain Drain Adalah Tanda Krisis Kepercayaan Sistemik.Badan Pusat Statistik (BPS) & International Labour Organization (ILO). (2024). Tren Ketenagakerjaan di Indonesia.
Samirin, W. (2025). Wawancara Eksklusif di Metro TV: Talenta vs Tantangan Pekerjaan, 20 Februari 2025.
Kementerian Luar Negeri RI. (2023). Laporan Tahunan Kewarganegaraan.
World Bank. (2024). Migration and Development Brief 38: Brain Drain Trends.
Cornell University & Gallup. (2023). Global Talent Index Report.
Bank Indonesia. (2024). Data Remitansi Tenaga Kerja Indonesia.
Effendi, T.N. (2024). Diaspora dan Transformasi Pembangunan Indonesia. Universitas Gadjah Mada.
Indikator Politik Indonesia. (2025). Laporan Lengkap Mismatch Pendidikan dan Dunia Kerja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI