Mohon tunggu...
Lis Andriani
Lis Andriani Mohon Tunggu... Menulis Santai, Pesan Sampai

Menulis di sela aroma kopi yang menenangkan meski terkadang menulis karena ilham tapi lebih sering karena tagihan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Part 2: Reda yang Tak Selalu Pergi

4 Mei 2025   21:36 Diperbarui: 4 Mei 2025   17:56 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reda yang Tak Selalu Pergi Sumber: Lis Andriani, design by canva

Pada Ia yang Tak Rindu

Alif masih terduduk di atas sajadahnya, memandangi jendela yang penuh titik-titik air. Hujan Januari belum juga reda, seakan enggan memberi ruang bagi keheningan malam.

Di luar sana, jalanan mulai basah oleh genangan, lampu-lampu kota memantulkan cahaya keemasan di permukaan air. Tapi bagi Alif, yang lebih menggenang adalah perasaannya sendiri.

Ia menarik napas, mencoba meredakan sesak di dadanya. Sudah berapa lama ia begini? Sudah berapa banyak doa yang ia kirimkan dalam malam-malam sepi, berharap seseorang di seberang sana merasakan getar yang sama?

Tapi ia tahu, harapannya hanya searah.

"Rindumu itu seperti bayangan," suara hujan kembali berbisik, "ia selalu mengikutimu, tapi tak pernah bisa kau genggam."

Alif menutup matanya. Ia ingin berhenti. Berhenti menunggu, berhenti berharap, berhenti bertanya-tanya apakah orang itu pernah, meskipun hanya sesaat, merasakan hal yang sama.

Tapi bagaimana caranya?

Ia berusaha mengalihkan pikirannya, berdiri dan berjalan ke jendela. Hawa dingin langsung menyelusup ke kulitnya. Ia membuka sedikit kaca, membiarkan aroma tanah basah masuk, membawa ketenangan yang samar.

Saat itu, samar-samar, di antara suara hujan, ia mendengar sesuatu.

Bukan suara benda mati seperti biasa. Bukan suara rinai hujan yang bercakap-cakap dengannya. Tapi suara langkah kaki.

Perlahan, langkah itu semakin dekat.

Lalu berhenti.

Alif menahan napas. Ada seseorang di luar pagar rumahnya. Siluetnya tertangkap oleh cahaya lampu jalan---seseorang berdiri di sana, terdiam di tengah gerimis.

Hatinya berdegup lebih cepat. Apakah mungkin...?

Tidak. Itu mustahil.

Namun, saat sosok itu mengangkat wajahnya, hujan membisikkan sesuatu yang lain padanya. Sesuatu yang membuat Alif merasakan dorongan kuat untuk keluar dan membuka pintu.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan rindu yang tak hanya jatuh dan menghilang---tapi menemukan tempat

 untuk bersandar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun