Mesin motor menderu pelan melewati jalan-jalan aspal yang terkadang rusak dan berlubang dimakan zaman. Polisi-polisi tidur tak luput meriahkan perjalanan menuju arah terminal keberangkatan. Jadwal bus datang  masih setengah jam lagi, tapi tidak ada salahnya datang sebelum jadwal keberangkatan, supaya tidak tertinggal dan tergesa-gesa di jalan.Â
Aku melihat punggungmu lama, punggung kekar nan kokoh suamiku. Terayun-ayun pelan menyesuaikan irama jalanan yang tidak selalu mulus. Punggung yang menopangku saat aku lemah, dan selalu menjadi tempatku bersandar saat aku lelah.
Motor masih melaju lambat-lambat menyusuri tepian sungai. Airnya tenang, berombak pelan. Angin mendesir perlahan, cuaca yang sedikit mendung seolah tahu hatiku yang tak secerah biasanya.
"De..." Mas Dimas memanggilku dengan suara agak keras. Karena kendaraan yang sedang melaju terkadang membuyarkan pendengaran.
"Iya mas, kenapa?" Jawabku menimpali.
"Ngantuk apa? Kok diam saja?" Tanya Mas Dimas keheranan, karena biasanya aku selalu berceloteh kesana kemari membicarakan apa saja.
"Anginnya semilir mas, enak dinikmati." Jawabku menyembunyikan suasana hati yang tidak menentu.
"Beneran, masa??" Heran Mas Dimas.
"Iya mas..." jawabku.
Terminal terlihat tidak jauh lagi, sekitar 10 meter lagi kita sampai. Rasa hati yang tidak karuan kembali muncul. Mas Dimas baru pulang 2 Minggu lalu setelah 3 bulan lamanya bekerja di kota. Rasa rindu masih terasa sampai sekarang, namun waktu begitu cepat berlalu. Seakan sekedip mata saja bersama, harus berpisah kembali.
Ku peluk erat pinggang Mas Dimas dari belakang bangku penumpang. Ku sandarkan kepala ke punggungnya, sesaat saja ingin ku nikmati setiap detik bersamanya. Sebelum jarak memisahkan, sebelum hangat tubuhnya tidak lagi bisa ku sentuh.