Hanya karena ketahuan berkeliaran di tengah malam, di risak kedai kopi yang buka dua puluh empat jam,
Diambil hak-haknya karena menurut undang-undang,
Perempuan yang bekerja melewati tengah malam akan segera dilarang.
Bapak/ibu DPR yang tercinta,
Lantas bagaimana perempuan itu akan menambal hutang ayah-ibu nun jauh di desa,
Jika untuk lembur saja, ia butuh persetujuan negara?
Entah cerita ini akan ditafsir sebagai surat atau puisi,
Namun bapak/ibu DPR yang tercinta, ibukota tengah bertransformasi menjadi ladang oligarki, manusia-manusia jahat yang menganut paham patriarki,
Bahwa perempuan sepertinya tidak boleh berkata lantang dan meneriakkan keresahannya sendiri.
Suaranya mungkin telah terpendam dalam gaung gelombang pendemo yang melafalkan mosi tidak percaya,
Namun ia tak akan pernah berhenti melafalkan patah hati paling sepi dalam sunyi sajak yang berdiksi.