Mohon tunggu...
Lintang Prameswari
Lintang Prameswari Mohon Tunggu... Jurnalis - Content Writer

Bukan penulis, hanya menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Seorang Perempuan yang Bekerja Jauh dari Rumah dan Dipermainkan oleh DPR

4 Oktober 2019   15:46 Diperbarui: 4 Oktober 2019   16:13 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (cdd20 via Pixabay)

Masih sebentar ia ada di sini.

Belum lama, tak lebih dari enam bulan ia menjajaki hari.

Mei dua ribu Sembilan belas yang lalu,

Ia harus melangkahkan kaki keluar dari rumah, lagi.

Banyak yang mirip dengannya, memang tak hanya satu,

Dua, tiga, sepuluh, seratus ribu.

Tiap pagi dan malam berdesakan di dalam transjakarta,

Atau rela menjadi pepes manusia di perjalanan pulang-pergi kereta rel listrik arah Bekasi.

Ada jutaaan rupa,

Berharap masa depan nanti bisa dijalani dengan lapang dada.

Bapak/ibu DPR yang tercinta,

Ia mendengar berita-berita menyesakkan saat membuka pemberitahuan di ponsel,

Atau ketika membaca kelebatan poster-poster, kalimat-kalimat sarkas di tembok jalan tol,

Atau ketika tak sengaja menengok televisi tetangga,

Tentang undang-undang yang telah dikebiri penguasa.

Tak sedikit permasalahan hidup yang dihadapinya sehari-hari,

Juga pada orang-orang di sekitarnya.

Ia sudah tak peduli entah akan berbentuk apa narasi ini,

Surat atau puisi, yang jelas kepalanya penuh dengan kejadian demi kejadian yang mencabik Nurani.

Hari itu ia ikut turun ke jalan,

Merasakan bunyi ledakan-ledakan,

Menyaksikan mahasiswa-mahasiswa yang tumpah dengan pipi-pipi yang putih oleh pasta gigi,

Berharap kekerasan oleh aparat segera dihentikan dari segala jenis penyelesaian yang masih saja semena-mena.

Ada hangat yang pelan-pelan mengalir di pipinya,

Tak mudah membuat sebuah tulisan panjang ketika hatinya tengah diredam kemarahan,

Dihancurkan harapan,

Dibuat berantakan.

Ia ingin pulang saja ke haribaan ibu,

Menyerah dan pasrah sambil mengeluh, "aku tak mampu."

Namun ia teringat akan genteng-genteng rumah yang bocor oleh air hujan dan belum juga dibenahi hingga kini,

Terkadang meringkuk di kubikal kantor sambil memasang pengeras suara di telinga dengan wajah penuh kepalsuan ia terus menerka-nerka,

Menahan nafas, merindukan sayur kangkung dengan lauk udang yang penuh kenikmatan.

Di sisa tenaga dalam udara kamar kos setelah ia membersihkan diri dari kepentingan dunia,

Ia ingin memberontak namun tangannya masih terlalu kecil untuk meninju muka-muka tanpa dosa di kursi-kursi kuasa yang penuh noda.

Lalu ia simpan sepatunya di balik meja kamar tempat ia membuang segala jenis hidup yang kerapkali berkelakar,

Berusaha tak pernah gentar,

Berusaha selalu tegar.

Bapak/ibu DPR yang tercinta,

Entah surat atau puisi ini akan ditujukan pada pribadi yang mana,

Baginya luka tak lain adalah keringat yang harus ia telan sendiri,

Bertarung dalam pengandaian tentang bagaimana jika ia terlahir sebagai orang kaya.

Ia sama seperti bapak/ibu sekalian,

Untuk hidup, perempuan ini akan terus membutuhkan uang.

Ada saat ketika ia membuka dompet di tanggal tua sembari mengira-ngira akankah siklus ini dapat berhenti suatu saat nanti,

Maksudnya, akankah suatu saat nanti ia bisa berlaku seenaknya, ongkang-ongkang sambil mengobrak-abrik undang-undang lalu dengan mudah mendapat uang?

Berandai-andai tiap bulan pemasukannya selalu surplus,

Lalu ditabung untuk membeli dan menanami tanah-tanah tandus dengan sawit-sawit yang baik, katanya.

Dan memeras darah petani-petani kecil yang tak pernah digajinya dengan serius.

Seperti, seandainya saja begitu.

Entah akan ditafsir sebagai surat atau puisi,

Ini cerita dari seorang perempuan perantau yang jauh dari rumah,

Yang langkah-langkah kakinya harus lebih pagi dari matahari.

Yang menulis cerita ini di jam-jam malam saat ia berkeliaran dengan MRT yang membawa hatinya pergi melupakan sejenak penat di balik meja kerja,

Yang kan menyesal jika tidak menulis hari ini.

Suatu saat tangannya akan diborgol, mulutnya akan dibungkam,

Hanya karena ketahuan berkeliaran di tengah malam, di risak kedai kopi yang buka dua puluh empat jam,

Diambil hak-haknya karena menurut undang-undang,

Perempuan yang bekerja melewati tengah malam akan segera dilarang.

Bapak/ibu DPR yang tercinta,

Lantas bagaimana perempuan itu akan menambal hutang ayah-ibu nun jauh di desa,

Jika untuk lembur saja, ia butuh persetujuan negara?

Entah cerita ini akan ditafsir sebagai surat atau puisi,

Namun bapak/ibu DPR yang tercinta, ibukota tengah bertransformasi menjadi ladang oligarki, manusia-manusia jahat yang menganut paham patriarki,

Bahwa perempuan sepertinya tidak boleh berkata lantang dan meneriakkan keresahannya sendiri.

Suaranya mungkin telah terpendam dalam gaung gelombang pendemo yang melafalkan mosi tidak percaya,

Namun ia tak akan pernah berhenti melafalkan patah hati paling sepi dalam sunyi sajak yang berdiksi.

Suatu saat di belahan bumi lain bernama Indonesia yang kedua,

Mungkin ia akan lahir sebagai perempuan yang hak-haknya telah khatam dihargai,

Lalu pulang dan tak hilang begitu saja di tengah jalan,

Ke rumah yang sebenar-benarnya rumah.

Di tanah air yang bukan lagi kiasan,

Tanah air yang mereka bilang, tanpa penindasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun