Mohon tunggu...
Lintang Prameswari
Lintang Prameswari Mohon Tunggu... Jurnalis - Content Writer

Bukan penulis, hanya menulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Kompilasi

20 April 2018   01:23 Diperbarui: 20 April 2018   01:47 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam ini terjadi sebuah kompilasi yang layak untuk ditangisi.

Hujan, lagu-lagu yang terputar pada pengeras suara yang menempel di telinga,

Hingga perhelatan sepi, menjelma perih yang makin menjadi-jadi.

Tak berdaya, ku ceritakan semua pada suara ketik yang berisik agar sendiriku tak terasa begitu mengusik.

Cicak-cicak di dinding kamar, terdiam begitu saja tanpa ujar

Biasanya, ia ramai bersahutan ketika aku tiba-tiba tersenyum bahagia, hanya dengan melihat layar ponsel yang menyala.

Di sana, namamu pernah menjadi satu yang ku tunggu, membuat detak dalam tubuhku menderu menggebu.

Kali ini, semesta seakan tak peduli dengan sepenggal kisah dari seorang gadis ringkih yang terlanjur dibuat jatuh hati, bahkan ketika telah ditinggal pergi.


Hujan di luar semakin menderai menjalang ketika aku menulis tentang kenangan, saat aku dan kau menjadi hampir yang tak sempat sampai di garis akhir.

Sepertinya aku terlalu tinggi berandai dengan menganggap bahwa apa yang kita jalani takkan pernah selesai,

Karena nyatanya, bagimu selamanya masih terlalu lama.

Dan bahwa masih ada lalu yang membayangimu ketika memutuskan untuk membersamaiku, kau belum pernah berani mengaku, hingga tanpa sadar, ternyata kau telah menyiapkan laju untuk meninggalkanku.

Hujan di luar semakin garang, diiringi petir yang tak henti menyambar menyingkap lengang.

Hanya saja, suara ketik pada layarku semakin lemah mengiringi isi kepalaku yang semakin tak terarah.

Sudah jauh ku melangkah pada arah yang jelas-jelas telah salah.

Karena saat itu, tersesat jadi satu-satunya nikmat yang ku rasakan ketika tangan kita saling menggenggam, erat.

Ini hanya penggalan patah yang menguap pada hening malam yang semakin menggelap, pengap.

Biar nafasku jadi satu-satunya yang tetap hidup, meski lagu-lagu yang berputar di telingaku perlahan redup, bersama bab-bab dalam buku tentang kita, yang sejak lama telah kau tutup.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun