Proses rekrutmen di perusahaan seringkali digambarkan seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Di tengah ratusan hingga ribuan lamaran yang masuk, HRD (Human Resources Development) berperan sebagai filter utama untuk menyaring, menyortir, dan memilih siapa yang layak melaju ke tahap berikutnya. Tapi di balik semua tahapan itu, muncul pertanyaan yang semakin sering terdengar dari para pencari kerja  Apakah HRD benar-benar tahu apa yang sedang mereka cari? Atau jangan-jangan, mereka terlalu sibuk menyaring sampai lupa esensi yang sebenarnya?
Pertanyaan ini layak dikaji, bukan untuk menyudutkan satu pihak, melainkan sebagai refleksi bersama bahwa proses rekrutmen yang efektif harus didasarkan pada pemahaman menyeluruh, bukan hanya pada tumpukan CV atau kata kunci dalam resume.
Menyaring Bukan Sekadar Menghapus
Dalam praktiknya, menyaring sering kali berarti mengeliminasi. Kandidat yang tidak memenuhi kualifikasi minimal langsung dicoret. Tidak sesuai jurusan? Gugur. Tidak punya pengalaman kerja sesuai bidang? Gugur. IPK kurang dari 3.00? Gugur.
Tentu, seleksi awal memang butuh batasan agar proses menjadi efisien. Namun, masalahnya terletak pada pendekatan yang terlalu mekanis. Banyak HRD menggunakan sistem Applicant Tracking System (ATS) yang menyortir berdasarkan kata kunci, alih-alih menilai esensi dari pengalaman atau potensi individu.
Akibatnya, banyak kandidat potensial justru terlewat. Misalnya seseorang yang pernah membangun bisnis kecil saat kuliah mungkin punya etos kerja tinggi, kepemimpinan, dan kemampuan multitasking tapi jika pengalaman itu tak "masuk" kategori pekerjaan formal, bisa jadi ia tak lolos seleksi awal.
Pertanyaannya  apakah HRD masih menyaring berdasarkan nilai sesungguhnya, atau sekadar berdasarkan checklist?
Lupa Apa yang Dicari?
Sebagian HRD terjebak dalam rutinitas administratif. Mereka menyeleksi berdasarkan template, bukan tujuan. Padahal, setiap lowongan kerja seharusnya punya karakter dan kebutuhan yang berbeda.
Misalnya, sebuah perusahaan mencari Social Media Specialist. Yang dibutuhkan bukan hanya seseorang yang paham algoritma Instagram, tapi juga kreatif, luwes dalam komunikasi, dan punya insting tren. Tapi apa yang terjadi? Kandidat dicari berdasarkan gelar komunikasi, pengalaman minimal 2 tahun, dan "wajib menguasai Canva dan Meta Ads." Itu penting, tapi bukan esensinya.
HRD seolah terlalu sibuk memastikan semua kriteria terpenuhi, sampai lupa bertanya "Apakah orang ini punya 'rasa' dan passion untuk pekerjaan ini?" Dan lebih penting lagi "Apakah orang ini bisa tumbuh bersama kami?"
Kesalahan Bukan Selalu pada HRD
Namun penting juga untuk diakui, bahwa tanggung jawab rekrutmen tidak hanya pada HRD. Banyak kali, HRD hanya bekerja berdasarkan deskripsi kerja (job description) yang disusun oleh pihak manajemen atau user. Jika deskripsi itu tidak menggambarkan kebutuhan tim dengan jelas, HRD pun bekerja dalam kabut.
Bahkan, tak jarang HRD bekerja sendirian dalam proses awal rekrutmen tanpa benar-benar berdiskusi mendalam dengan user mengenai kebutuhan tim. Sehingga proses penyaringan menjadi tugas administratif semata, bukan proses strategis. Idealnya, HRD dan user berkolaborasi sejak awal bukan hanya menyerahkan "kriteria" dan menunggu hasil akhir.
Antara Soft Skill dan "Kecocokan Tim"
Satu hal yang sering terlewat dalam proses rekrutmen adalah soft skill dan cultural fit kecocokan karakter dengan budaya tim dan organisasi. Padahal, dalam jangka panjang, dua hal inilah yang lebih menentukan retensi karyawan daripada sekadar skill teknis.
Kandidat yang jujur, adaptif, terbuka terhadap umpan balik, dan punya semangat belajar sering kali lebih berkontribusi dibanding kandidat yang hanya unggul di atas kertas. Namun HRD yang terlalu sibuk menyaring bisa melewatkan semua ini, karena penilaiannya tidak sampai ke tahap interaksi yang lebih personal.
Harapan dari Kandidat: Dipahami, Bukan Diabaikan
Para pencari kerja tidak selalu menuntut diterima. Banyak dari mereka hanya ingin dihargai dan dipahami. Ketika mereka tidak lolos seleksi, tapi tidak ada umpan balik, mereka merasa diabaikan. Ketika wawancara terasa seperti interogasi, mereka merasa tidak didengarkan. Ketika lowongan dibuka berkali-kali tapi tidak ada kejelasan, mereka merasa dibohongi.
Sikap-sikap ini, sadar atau tidak, menciptakan persepsi negatif tentang HRD. Bahwa HRD adalah "gerbang tinggi" yang dingin, kaku, dan tak punya empati.
Padahal kenyataannya, banyak HRD yang juga merasa frustrasi. Terbatas waktu, dibebani administrasi, dan tidak diberi wewenang penuh untuk membuat keputusan.
Apa yang Bisa Dibangun Ulang?
Jika kita ingin menciptakan ekosistem rekrutmen yang lebih sehat, beberapa hal ini patut dipertimbangkan:
Kembalikan Tujuan Rekrutmen ke Akar
Bukan mencari kandidat yang paling sempurna di atas kertas, tapi yang paling tepat untuk tumbuh bersama perusahaan.Kuatkan Kolaborasi HRD dan User
Rekrutmen bukan proses satu arah. HRD perlu duduk bersama user untuk memahami kebutuhan tim secara nyata.Gunakan Teknologi dengan Empati
ATS boleh digunakan, tapi jangan sampai menghilangkan sisi manusiawi dari proses seleksi.Berikan Ruang untuk Potensi, Bukan Hanya Pengalaman
Pelamar muda, pemula, atau bahkan yang alih profesi pun bisa jadi aset jika diberi kesempatan berkembang..Jadikan Proses Rekrutmen sebagai Cermin Budaya Kerja
Jika sejak proses rekrutmen perusahaan menunjukkan empati, kejelasan, dan keterbukaan, maka itu mencerminkan seperti apa budaya kerja di dalamnya.HRD Harus Ingat Tujuan, Bukan Sekadar Prosedur
Rekrutmen adalah proses yang vital, bukan hanya untuk perusahaan, tapi juga untuk hidup banyak orang. HRD berada di posisi penting sebagai penentu awal arah masa depan seseorang. Maka penting bagi HRD untuk tidak sekadar menyaring demi efisiensi, tetapi benar-benar memahami apa yang sedang dicari manusia yang bisa berkontribusi, bertumbuh, dan menjadi bagian dari perjalanan panjang sebuah organisasi.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya ulang Apakah kita sedang mencari yang tepat, atau hanya yang terlihat cocok di atas kertas?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI