Kesalahan Bukan Selalu pada HRD
Namun penting juga untuk diakui, bahwa tanggung jawab rekrutmen tidak hanya pada HRD. Banyak kali, HRD hanya bekerja berdasarkan deskripsi kerja (job description) yang disusun oleh pihak manajemen atau user. Jika deskripsi itu tidak menggambarkan kebutuhan tim dengan jelas, HRD pun bekerja dalam kabut.
Bahkan, tak jarang HRD bekerja sendirian dalam proses awal rekrutmen tanpa benar-benar berdiskusi mendalam dengan user mengenai kebutuhan tim. Sehingga proses penyaringan menjadi tugas administratif semata, bukan proses strategis. Idealnya, HRD dan user berkolaborasi sejak awal bukan hanya menyerahkan "kriteria" dan menunggu hasil akhir.
Antara Soft Skill dan "Kecocokan Tim"
Satu hal yang sering terlewat dalam proses rekrutmen adalah soft skill dan cultural fit kecocokan karakter dengan budaya tim dan organisasi. Padahal, dalam jangka panjang, dua hal inilah yang lebih menentukan retensi karyawan daripada sekadar skill teknis.
Kandidat yang jujur, adaptif, terbuka terhadap umpan balik, dan punya semangat belajar sering kali lebih berkontribusi dibanding kandidat yang hanya unggul di atas kertas. Namun HRD yang terlalu sibuk menyaring bisa melewatkan semua ini, karena penilaiannya tidak sampai ke tahap interaksi yang lebih personal.
Harapan dari Kandidat: Dipahami, Bukan Diabaikan
Para pencari kerja tidak selalu menuntut diterima. Banyak dari mereka hanya ingin dihargai dan dipahami. Ketika mereka tidak lolos seleksi, tapi tidak ada umpan balik, mereka merasa diabaikan. Ketika wawancara terasa seperti interogasi, mereka merasa tidak didengarkan. Ketika lowongan dibuka berkali-kali tapi tidak ada kejelasan, mereka merasa dibohongi.
Sikap-sikap ini, sadar atau tidak, menciptakan persepsi negatif tentang HRD. Bahwa HRD adalah "gerbang tinggi" yang dingin, kaku, dan tak punya empati.
Padahal kenyataannya, banyak HRD yang juga merasa frustrasi. Terbatas waktu, dibebani administrasi, dan tidak diberi wewenang penuh untuk membuat keputusan.
Apa yang Bisa Dibangun Ulang?