Ismail menyibak tirai bambu depan rumah. Namun ia menghentikan maksudnya begitu melihat Bu Sarah lewat. Ia mengintip Bu Sarah dari celah tirai. Diam, tidak membuat suara. Bu Sarah sebenarnya orang normal, tetapi tingkahnya konyol. Sore itu Bu Sarah mengendarai sepeda balita, warna kuning kecoklatan, di dekat ban diselipkan botol plastik pipih sehingga mengeluarkan suara bising. Terhitung sejak minggu lalu, sepeda Bu Sarah dibuat menjadi semakin aneh. Bentuk ban-nya dibuat tidak bulat sehingga ketika berjalan Bu Sarah bergoyang-goyang seperti sedang naik kuda.Â
"Ngapain, Mail?" seru Bu Sarah. Ismail tercengang. Bagaimana bisa Bu Sarah tahu? Padahal Ismail bersembunyi dengan sempurna. "Maiiil!"
Akhirnya Ismail dengan terpaksa menampakkan diri. Untung saja sudah cukuran jadi penampakannya tidak seperti sabut kelapa.Â
"Bu Sarah ih bisa-bisanya!" gerutu Ismail.
Bu Sarah tertawa. "Kau masih meragukan kesaktianku, Mail?"
Ismail hendak tertawa namun berusaha untuk menahannya. Tangannya segera mencomot gorengan tempe, dikunyah dengan mantap agar tidak tertawa. Sementara itu Bu Sarah bersepeda mengelilingi lapangan kompleks yang letaknya di depan rumah Ismail. Tingkah Bu Sarah semakin menjadi ketika tahu dirinya diperhatikan orang lain. Pak Murus menonton Bu Sarah dari balkon rumahnya.Â
"Rah, Johan dan Diana kulepas ya," kata Pak Murus.Â
"Jangan, Rus!" Bu Sarah bersungut-sungut.
"Halah! Biar nanti kamu makin bersemangat sepedaannya." Pak Murus terkekeh. Dua angsanya di pekarangan rumah terdengar bersuara. Bising! "Kau dengar itu, Sarah. Mereka terlalu penat di dalam pagar."
"Jika kamu lepas maka aku tidak segan mencekiknya," seloroh Bu Sarah.Â
Sudah setahun ini angsa Pak Murus dikurung setelah mendapat petisi satu kompleks yang kesal dengan angsanya yang suka mengejar orang lewat. Mengejarnya pun tidak main-main. Mereka bahkan terbang secara tiba-tiba. Kemunculan mereka lebih ditakuti daripada hantu.Â