Di depan gerbang pondok pesantren, suatu pagi yang biasa bagi dunia, tapi tidak bagi hatiku.
"Ada hari-hari yang tidak ditulis dalam kalender, tapi akan selalu tercetak dalam hati. Hari ketika seorang ibu melepas anak kesayangannya, bukan karena ingin jauh, tapi karena ingin ia dekat dengan Tuhan."
Hari ini, aku mengantar bukan sekadar seorang anak.
Aku mengantar harapan. Doa. Cinta.
Aku mengantar sebagian dari jiwaku yang telah tumbuh dengan peluk, tawa, tangis, dan zikir bersama.
Kini, ia berdiri di hadapanku---dengan kopor kecil dan mata yang tak bisa menyembunyikan ragu.
Aku tahu, dia berusaha kuat.
Dan aku, seperti biasanya, pura-pura lebih kuat.
Padahal di dalam dada ini, ada sesuatu yang terasa retak.
Sesuatu yang hanya bisa ditambal oleh iman:
bahwa Engkau, ya Rabb, akan menjaga dia lebih baik dari siapa pun.
"Ya Allah, Engkau yang menitipkannya sejak kecil. Hari ini aku kembalikan dia ke rumah-Mu. Tempat di mana cahaya-Mu turun, ilmu-Mu diajarkan, dan akhlak dibentuk. Jagalah dia, ya Rabb... karena hatiku tertinggal di sini bersamanya."
Di pondok ini, tak akan ada pelukan ibu setiap malam. Tak ada masakan kesukaan. Tak ada tempat mengadu selain sajadah dan langit.
Tapi justru karena itulah aku meyakini:
tempat ini akan mengasah bintang dalam dirinya.
Bintang yang mungkin dulu masih redup, masih malu-malu bersinar di rumah yang terlalu nyaman. Tapi di tempat ini, dengan aturan, kesederhanaan, dan gemuruh suara ngaji setiap malam, aku yakin---ia akan bersinar. Bukan hanya di hadapan manusia, tapi di hadapan-Mu, ya Allah.
Anakku menatapku. Tak berkata. Tapi matanya menyampaikan banyak hal.
"Ibu, aku juga takut... tapi aku akan mencoba."
Aku tersenyum, setengah paksa. Mengangguk.
Dan dalam hati, aku berbisik:
"Nak, Ibu lebih takut... tapi Ibu yakin. Karena ini bukan tentang meninggalkanmu. Ini tentang mengembalikanmu pada Pemilikmu."