Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Politik Pembangunan, Korupsi, Pengabaian Lingkungan, dan Pembakaran Hutan

24 September 2019   07:21 Diperbarui: 24 September 2019   21:49 1096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi Jambi berwarna merah pada Sabtu (21/9/2019) pukul 12.53 WIB.(Facebook: Qha Caslley)

Keadilan Perhutanan yang Mati

Keadilan dan penegakan hukum perhutanan disebut mati. 

Bagaimana tidak?

Di tahun 2009, nenek Minah yang mencuri 3 buah kokoa di suatu perkebunan di Jawa Tengah dihukum penjara 1 bulan 15 hari dan beritanya banyak di media.

Kemudian, Nenek Asyani (63 tahun) diketok palu di tahun 2015 dengan vonis bersalah oleh hakim. Nenek Asyani divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari hukuman percobaan. Ini karena Nenek Asyani dituduh mencuri 2 pohon kayu jati milik perhutani untuk membuat tempat tidurnya.

Namun Nenek Asyani membantah dengan alasan batang pohon jati itu diambil dari lahannya sendiri oleh almarhum suaminya 5 tahun silam. Memang, ada aturan hukum bahwa masyarakat umum harus punya ijin untuk memiliki pohon jati. Pada haketnya, hutan adalah milik negara. 

Pohon jati Indonesia adalah milik negara. Ia pun mengucap sumpah yang tidak didengar oleh siapapun. Media tentu menyiarkan dan mencatatnya.

Lalu bagaimana ini akan nampak adil di depan hukum? Pelaku kejahatan luar biasa pembakaran hutan yang mengakibatkan kerugian ratusan triliun sudah tentu tidak boleh disembunyikan identitiasnya.

Di tahun 2015 memang menteri kehutanan Siti Nurbaya sempat mengatakan bahwa pelaku kebakaran hutan tak perlu disebut. Tahun 2017, WALHI menuntut penerintah umumkan korporasi pelaku. 

Pada September ini, Menteri Kehutanan sudah menyebutkan terdapat empat perusahaan Singapura dan Malaysia di Kalimantan Barat. 

Juga ia menyebutkan bahwa di Riau terdapat satu perusahaan milik Malaysia yang disegel. Siti Nurbaya juga membeberkan nama-nama perusahan tersebut, yaitu PT Hutan Ketapang Industri milik Singapura di Ketapang, PT Sime Indoagro milik Malaysia, PT Sukses karya sawit Malaysia di Ketapang, dan PT Rafikamajaya abadi di Melawi (CNN.com, 13 Setpmber 2019). 

Namun, ia menyatakan bahwa itu hanya sedikit dari perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia. Mengapa pemerintah tidak mengumumkan saja nama semua perusahaan itu. Perlu pemeriksaan atas siapa pelakunya.

Pengumuman atas siapa pelaku kebakaran hutan semestinya dilakukan terbuka dan harus bertanggung jawab secara hukum sejak lama. Mendiamkannya adalah abai. 

Kebakaran Hutan oleh Korporasi dan Korupsi 

Pada 14 Juni 2017, Gubernur Riau, Rusli Zainal ditahan KPK karena tuduhan korupsi, di antaranya adalah pemberian ijin kehutanan. Artinya, korupsi karena kasus perhutanan bisa ditindaklanjuti. 

Perusahaan, baik asing maupun milik orang Indonesia melakukan penyuapan pejabat untuk menghalalkan perbuatannya. 

Sayangnya, masyarakat luas sudah kadung percaya seakan masyarakat asli Kalimantan dan Sumatera yang masih mempraktekkan pembakaran hutan untuk menjalankan metode ladang berpindah yang tradisional. Ini tidak adil.

Analisis dan laporan tentang kaitan kebakaran hutan dengan tindak korupsi di Indonesia sudah ditulis berbagai pihak. Di tahun 2017 Greenpeace melaporkan adanya keterkaitan korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah daerah dengan kasus kebakaran hutan di wilayah Riau, Sumatera. Saat itu kebakaran terjadi di wilayah Dumai, Bengkalis dan Rokan Hilir.

Disinyalir, korupsi dari pejabat pemerintah daerah terjadi karena mereka menutup mata ketika perusahaan besar, khususnya perusahaan kebun kelapa sawit membakar hutan untuk membuka lahan.

Di seluruh dunia, para pengelola lahan , mulai dari petani kecil, menengah hingga perusahaan besar menggunakan metode pembersihan lahan dengan cara membakar hutan. 

Pembakaran dipercaya bisa meningkatkan kesuburan tanah, menurunkan salinitas, mencegah hama, dan meningkatkan nilai lahan di pasar lahan lokal karena telah siap tanam. Namun demikian, sebenarnya alasan utama dari metode ini adalah karena biayanya yang relatif murah bagi perusahaan. 

Menurut ilmuwan CIFOR, Herry Purnomo, dalam konteks Indonesia, pembakaran hanya menelan biaya sekitar 20 dolar AS per hektar, sementara metode lain menelan biaya sekitar 400 dolar AS per hektare. 

Alasan relatif murahnya menggunakan metode pembakaran sering dijajarkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk aspek pembebasan tanah dan tenurial.

KPK pernah menyatakan bahwa lembaganya bisa terlibat dalam upaya pemberantasan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) karena ini melibatkan korupsi dan terjadi kerugian negara dalam peristiwa ini.

Sudah jelas bahwa jumlah hutan kita makin berkurang. KPK bisa memberikan rekomendasi terkait langkah pencegahan korupsi dalam tata kelola sektor kehutanan. Juga, KPK bisa melakukan penindakan.

Kebakaran Hutan dan Kerugian Ekonomi

Indonesia, pemerintah dilaporkan telah mengerahkan setidaknya 9.000 personel gabungan dan 42 helikopter untuk mengatasi karhutla yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan yang terjadi pada bulan Agustus dan September 2019 ini. 

Dukungan TNI AU dengan pengerahan C-130, CN 295 pun telah dilakukan. Tapi toh kebakaran terus terjadi. Masyarakat Kalimantan dan Sumatera menjalani hidup yang tidak normal. Penerbangan terganggu. Kesehatan keluarga, khususnya anak anak terganggu. Persoalan ISPA melanda.

Biaya Ekonomi Kebakaran Hutan yang Luar Biasa. Suatu studi "The Cost of Fire, An Economic Analyses of Indonesia's 2015 Fire Crisis' yang diterbitkan oleh the World Bank pada 2016 menunjukkan bahwa sekitar 2,6 juta sampai 3 juta hektar hutan Indonesia terbakar pada Juni sampai Oktober 2015. 

Ini artinya, hutan yang terbakar adalah 4 kali dari pulau Bali. Sebelumnya, kita bahkan alami kebakaran hutan Papua yang membakar sekitar 10% dari keseluruhan wilayah kebakaran secara nasional.

Kerugian secara ekonomi dari kebakaran hutan Indonesia tahun 2015 memakan kerugian sebesar 221 triliun. Kerugiaan akibat kebakaran hutan yang terjadi pada 2019 belum dihitung. 

Angka perkiraan muncul dari pernyataan pejabat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo (iNews.id, 23 September 2019), yang memprediksi kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun ini mencapai Rp66,3 triliun. 

BNPB menaksir kerugiaan ini lebih rendah dari kerugian kebakaran hutan pada 2015. Artinya, BNPB memperkirakan kerugian akibat karhutla tahun ini hanya 30 persen dari 2015. 

Juga ditambahkan bahwa karhutla yang terjadi sepanjang 2015 lalu hutan dan lahan yang terbakar mencapai 3 juta hektare luasnya. Sementara untuk tahun ini lahan yang terbakar luasnya 350.000 hektare.

Namun, dengan skala yang lebih besar dan luas dan begitu banyaknya persoalan, apakah informasi di atas bisa dianggap akurat?

Politik Pembangunan, Kebakaran Hutan dan Perubahan Iklim 

Pertumbuhan kebun kelapa sawit atas alasan pertumbuhan ekonomi telah jadi panglima pada dekade ini. Rata-rata pertumbuhan luas lahan perkebunan kelapa sawit periode 1970-2017 mencapai 10,31%/tahun.

Berdasarkan data Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian luas lahan sawit di Indonesia mencapai 12,3 juta hektarare (ha). 

Jumlah tersebut terdiri Perkebunan Rakyat (PR) 4,76 juta ha, Perkebunan Negara Besar (PNB) 753 ribu ha dan Perkebunan Swasta Besar (PBS) 6,8 juta ha. Adapun produksi minyak sawit nasional mencapai 35,36 juta ton denganproduktivitas 3,82 kg/ha.

Sumber Databox
Sumber Databox
Pembukaan lahan oleh korporasi  perkebunan kelapa sawit sudah terjadi di musim kemarau panjang, yang disebabkan oleh perubahan iklim sudah sering diteliti. 

Studi " Forestry, Forest Fires, and Climate Change in Indonesia" oleh Armida S. Alisjahbana dan Jonah M. Busch menuliskan beberapa kekuatiran. Memang pembukaan kebun kelapa sawit mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Tetapi, kerugiannya besar pada aspek lingkungan. Walaupun Indonesia sudah menandatangani konvensi dan protocol untuk perlindungan hutan Indonesia, tetapi negara kitapun melakukan pelanggaran dengan tidak menjaga hutannya.

Perubahan iklim yang mempengaruhi kualitas alam sering tidak dianggap. Perdebatan terus terjadi dan tidak dipercaya oleh parlemen maupun pemerintah sebagai contributor dalam kasus kebakaran hutan.

Studi itu menganalisis perkembangan terkini dan mempertanyakan beberapa hal terkait kehutanan, kebakaran hutan, perubahan iklim.

Pertama, soal komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi ke tingkat 29-41% di bawah proyeksi skenario 'bisnis seperti biasa' (business as usual) di tahun 2030 dan perjanjian internasional atas iklim dan keuangan yang dapat membantu pencapaian komitmen ini.

Kedua, soal hak dan peraturan atas penggunaan tanah, termasuk moratorium untuk mengosongkan, mengeringkan, atau membakar lahan gambut yang sering dilanggar.

Ketiga, tidak nampaknya tindakan-tindakan untuk mencegah kebakaran hutan katastropik, seperti yang terjadi pada saat El Nio melanda di tahun 2015 (misalnya pembentukan Badan Restorasi Gambut).

Keempat, tindakan oleh pihak di luar aparatur negara, khususnya pelaku usaha pertanian skala besar, dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut.

Politik pembangunan yang menjaga keberlanjutan memang perlu diperhatikan. Dan ini kendor di masa pemerintahan saat ini.

Politik pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan di tengah korupsi yang merajalela tentu dampaknya luar biasa. 

Sebagai konsep, ia sering berkembang, tetapi sering sekali negara melupakan bagaimana ini memperngaruhi demokrasi. 

Politik pembangunan adalah area yang terus berkembang, yang memasukkan definisi politik pembangunan dengan aspek sosial, dan budaya, yang pada akhirnya bagaimana ini mempengaruhi demokrasi suatu negara (Lucian W.Pye, 1965).


Politik pembangunan akan mempengaruhi strategi untuk memobilisasi ‘power’. Weber dan La Palombara (193) mengatakan bahwa politik pembangunan akan direfleksikan dalam administrasi pembangunan dan penerapan hukum pembangunan yang ada dalam birokrasi. La Palomabara berpendapat bahwa politik pembangunan inilah yang menentukan apakah suatu negara demokratis atau tidak (Almond and Coleman 1960, La Palombara 1963).

Ini perlu menjadi perhatian para negarawan dan juga masyarakat sipil tentang bagaimana politik pembangunan mempengaruhi apa yang terjadi saat ini. Kita ingat Arif Budiman yang di masa Orba adalah seseorang yang mengkriti bagaimana politik pembangunan Indonesia mempengaruhi bagaimana rakyat menikmati ekonomi. Bagaimana dengan situasi politik pembangunan saat ini? 

Pengabaian Lingkungan dan Korupsi

Semua kasus kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2015 dan tahun 2019 adalah kejahatan besar. 

Di tahun 2015, di antara luas hutan yang terbakar itu, sekitar 100.00 hektar dibakar secara sengaja untuk kebutuhan pembukaan lahan, karena pertimbangan biaya.

Perubahan iklim yang membuat musim kemarau lebih panjang sering diabaikan oleh banyak lembaga pemerintah di Indonesia maupun di dunia. Padahal, musim kemarau yang panjang menjadikan hutan lebih kering dan mudah terbakar. Apalagi bila terjadi di wilayah gambut, sulit pemadamannya.

Abainya pemerintah untuk mengontrol kebakaran hutan, yang dipicu oleh lemahnya penegakan hukum membuat kebakaran hutan sulit (dan dalam banyak hal seakan tidak bisa) ditanggulangi bisa dibaca sebagai abai. 

Persoalan krisis ekonomi dan lingkungan akibat abai ini membawa serta begitu banyak isu lingkungan kesehatan, sosial dan ekonomi.

Transportasi terhambat. Perdagangan dan wisata mandeg. Sekolah tutup dan isu kesehatan meningkat. Bahkan, terdapat korban meninggal.

Ratusan bisnis tidak bisa beroperasi. Sekitar empat ribuan petani yang menggantungkan hidupnya pada lahan dan hutan menjadi kehilangan mata pencaharian.

Ini seharusnya jadi perhatian pemerintah. Kerugian itu tentu harus didanai oleh anggaran pemerintah, yang notabene dana pajak 

Pemerintah melalui Instruksi Presiden 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

Peraturan ini sudah ditunggu tunggu lebih dari 2 tahun, sebagai bagian dari janji Presiden Jokow. Instruksi Presiden (Inpres) tentang penghentian sementara (moratorium) perluasan lahan dan evaluasi perkebunan sawit ini bertujuan memberikan waktu untuk mengevaluasi dan menata kembali izin-izin perkebunan sawit dan meningkatkan produktivitas.

Aturan ini diharapkan mampu meningkatkan tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi gas rumah kaca. 

Regulasi ini juga menugaskan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Dalam Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, para gubernur dan bupati/walikota untuk menunda izin baru perkebunan sawit, baik permohonan baru, permohonan telah mendapatkan persetujuan prinsip maupun permohonan yang diajukan namun belum melengkapi persyaratan.

Regulasi ini juga menyentuh pada penyelesaian konflik sosial di lapangan, dan tentu juga menjaga agar korporasi lebih terkontrol untuk tidak berkontribusi pada isu kebakaran hutan.

Namun, perusahaan yang telah mendapat ijin tentunya harus juga dipantau. Mereka masih menjadi pelanggar besar ketika pemerintah lemah mengawasinya dan tidak mencegah dan menegakkan hukum atas korupsi terjadi.

Bank masih bekum menerapkan studi kelayakan yang mensyaratkan perlundungan lingkungan dan sosial. 

Persoalan penegakan hukum di Indonesia pada akhir akhir ini memang mendapat sorotan terbesar, baik di kalangan nasional maupun dunia. 

Semestinya, pelaku kejahatan korporasi yang membakar hutan diumumkan. Perusahaan pelanggar juga perlu ditindak. Juga, keterlibatan pemerintah dan penegak hukum pada kasus ini perlu diiumumkan. 

Ini untuk menyetop peristiwa buruk terjadi di masa depan. Tapi, siapa yang bisa mengungkap ini ketika KPK sudah digembosi?

Harga diri bangsa ini sudah habis tak bersisa, digerogoti oleh kejahatan korupsi. Karena korupsi, bangsa ini mendekati hancur. Kisah orang baik akan menang melawan orang jahat seakan tidak lagi terjadi. 

Apakah kita bisa tersenyum menyaksikan babak Matinya Pandawa dan Merajalelanya Kurawa? 

*) Tulisan ini adalah pengembangan dari artikel saya sebelumnya soal kebakaran hutan yang saya muat di Kompasiana

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun