Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Studi Kasus Demokrasi yang Mati di Negeri Pencoleng dan Pemerkosa

18 September 2019   21:20 Diperbarui: 15 Januari 2020   12:24 4203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revisi ini di'claim' telah divalidasi oleh banyak pihak, dan dengan berbagai metode, termasuk dalam bentuk studi. 

Penolakan dan protes terus terjadi. Kita tidak tahu ini akan terjadi sampai kapan. 

Jangan dikira, cobaan hanya di UU KPK.  

Revisi Undang Undang KUHP telah pula diproses. Disebutkan oleh DPRRI bahwa RKUHP akan disahkan pada 24 September. 

Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) memerinci pasal-pasal yang berpotensi memperlemah demokrasi. Beberapa pasal itu, misalnya pasal 281 RKUHP tentang penghinaan terhadap pengadilan. Pasal ini dinilai berpotensi dapat memidanakan jurnalis dan media yang menulis putusan pengadilan. Abdul, wakil dari AJI menuntut agar DPR dan  pemerintah menyabut pasal 281 soal penghinaan terhadap pengadilan. Pasal itu dengan mudah bisa dipakai untuk menjerat jurnalis dan media yang selama ini kerap menulis soal putusan sidang dan jalannya peradilan. (CNN Indonesia, 16 September 2019). 

Media mudah dibungkam bila memberi kritik terkait perilaku penegak hukum yang tak patuh undang undang. Masih terdapat 9 pasal lain yang berpotensi mengganjal demokrasi pada usulan revisi ini, termasuk diantaranya kriminalisasi hak privat warga. 

Revisi UU MD3.  Usulan revisi adalah termasuk, antara lain menambah jumlah ketua DPRRI dari 5 menjadi 10. Ini artinya hanya merupakan upaya pembagian (baca rayahan) kekuasaan.

Bayangkan, kita akan punya 3 orang Setnov, 3 Orang Fadlizon dan 3 orang Fahri Hasan. Anda boleh pilih 1 lagi. Bebas. 

Saya tak hendak mendiskusikan panjang lebar tentang melemahnya pilar demokrasi yang lain, baik itu lembaga eksekutif, mapun masyarakat sipil, termasuk media di dalamnya, karena saya telah menuliskannya pada bulan September ini. 

RUU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Ini punya cerita lain. RUU sudah diusulkan sejak lama. Sudah bolak balik masuk Prolegnas. Sempat ditolak dan sampai MK pun ditolak. Saat ini sedang dalam posisi tinggal ketok tapi dicuekin DPRRI. Ini untuk merespon kebutuhan karena tingkat perkosaan meningkat sementara korban dan penyintas tidak terlindungi. Kalau ini didiamkan, Indonesia jadi tanah pemerkosa. Mengerikan. 

Jadi, studi kasus revisi UU KPK yang baru terjadi telah menggelar habis contoh tentang perilaku eksekutif dan legislatif yang berkonspirasi merusak demokrasi, melalui perilaku koruptif, dengan cara menghancurkan lembaga anti korupsi. Sementara, masyarakat sipil compang camping, lemah tanpa daya. Masa Indonesia akan jadi tanah subur bagi maling, garong , koruptor, pemerkosa. Apa lagi? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun