Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Studi Kasus Demokrasi yang Mati di Negeri Pencoleng dan Pemerkosa

18 September 2019   21:20 Diperbarui: 15 Januari 2020   12:24 4203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai bagian dari masyarakat sipil dan juga media, kita mestinya diharapkan aktif memperjuangkan jaminan kebebasan politik (hak atas informasi publik, hak untuk berpartisipasi dan hak untuk berekspresi). Juga di dalam melakukan pengawasan terhadap proses-proses regulasi dan pembuatan kebijakan publik. Itu semestinya. Namun, untuk studi kasus ini, kita tidak dapat. 

Kita sebetulnya juga terlibat dalam konsultasi terkait pengalokasian sumber daya publik, dan juga didukung dalam mendapatkan perizinan usaha serta dalam perdagangan. Kitapun mestinya memiliki integrasi pendidikan anti korupsi dalam kehidupan bermasyarakat. Kita juga semestinya memiliki kesadaran dan paham apa itu korupsi. Kapan tindakan kita disebut korupsi. Paham bahwa menyuap polisi yang menilang adalah mendorong terjadinya korupsi. Kita juga semestinya paham proses penyidikan kasus korupsi. Itu semua adalah semestinya. 

Juga, dalam mengahdapi tantangan ke depan, kita sebagai bagian dari masyarakat madani juga memiliki etik yang kita sepakati ketika menggunakan media sosial 

Kita juga mestinya menerapkan transparansi media, termasuk media sosial bisa dijaga. Siapa yang akan menjaganya? Pemilik modal dari lembaga mediakah? Atau warga? 

Kita juga tidak takut dibayangi pengalaman Maria Reyes dari CNN Filipina diperintahkan untuk ditangkap oleh presiden Duterte karena membongkar kasus nepotisme yang telah terjadi.

The World Economic Forum terbitan 2016 menuliskan sesuatu yang menarik tentang demokrasi. Laporan ini mengibaratkan demokrasi seperti Mike Tyson. Ketika Mike Tyson hendak jadi juara, ia berlatih keras. Ini menjadikannya petinju yang tak terkalahkan. Ketika sudah menang, ia menjadi jarang latihan dan malah jadi pemabuk. Demokrasipun demikian.

Proses demokrasi membuat mabuk. Kita berapat dan berdebat, juga melakukan pemilu, bahkan pemilu serentak, dan pilkad serentak. Tetapi, kita tidak pernah mengecek, apakah kita memiliki hasil dari demokrasi yang makin baik? 

Apakah masing masing pilar demokrasi (parlemen, eksekutif, masyarakat madani) menjadi lebih baik? 

Kalau dulu kita dipimpin presiden yang otoriter, dengan demokrasi, kita dipimpin presiden yang mendapat legitimasi hasil pemilu untuk  dipimpin presiden yang boleh otoriter dan diwakili oleh parlemen yang boleh korup. Ini realita yang kita hadapi dalam studi kasus ini. 

Apakah kita hendak melanggengkan penggerogotan demokrasi dan memberikan kekuasaan pada elit tertentu dengan membiarkan korupsi hadir kembali serta melindungi diri dari 'dosa' korupsi yang saat ini ada potensi untuk dibongkar?

Perasaan saya kepada negeri ini sekarang telah berbeda dengan perasaan saya selama beberapa tahun lalu. Juga berbeda dengan perasaan saya pada beberapa hari yang lalu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun