Mudik: Lebih dari Sekadar Perjalanan, Ini Tentang Pulang
Mudik bukan hanya soal berpindah dari satu kota ke kota lain. Ini tentang perjalanan pulang, tentang rindu yang menggumpal di dada, tentang momen di mana seseorang kembali ke akar yang telah lama ditinggalkan.
Tapi, seperti halnya segala sesuatu dalam hidup, mudik juga mengalami perubahan. Ada masa di mana perjalanan mudik adalah sebuah perjuangan, penuh tantangan, penuh warna. Kini, segalanya lebih mudah, lebih cepat, lebih nyaman.
Namun, ada sesuatu yang perlahan memudar. Kehangatan dalam perjalanan, kebersamaan dengan orang lain yang sejenak menjadi teman, interaksi yang membangun cerita... semua itu mulai menghilang di tengah modernisasi.
Mari kita kembali ke masa lalu, mengingat kembali bagaimana mudik zaman old, lalu bandingkan dengan realitas mudik zaman now.
Mudik Zaman Old: Perjuangan yang Menjadi Kenangan Tak Terlupakan
1. Antri Tiket Berjam-jam: Siapa Cepat, Dia Dapat!
- Dulu, tiket mudik bukan sekadar barang yang bisa dibeli kapan saja. Tiket adalah harta karun yang harus diperjuangkan.
- Harus datang ke terminal atau stasiun jauh-jauh hari sebelum keberangkatan.
- Antrian mengular hingga berjam-jam di bawah terik matahari.
- Banyak yang rela begadang, menginap di depan loket hanya demi mendapat tiket.
- Calo merajalela, menjual tiket dengan harga dua kali lipat.
- Kadang, ada yang sudah antri lama, tapi tetap tidak kebagian tiket.
- Bagi yang tidak beruntung, terpaksa mencari cara lain: naik kendaraan alternatif, nebeng truk, atau bahkan nekat naik kendaraan tanpa tiket.
2. Bus Ekonomi, Kereta Api Penuh Sesak, Hingga Truk Bak Terbuka
- Jika sudah dapat tiket, perjuangan belum selesai. Moda transportasi zaman dulu jauh dari kata nyaman.
- Bus ekonomi: Kursi keras, panas, berdesakan dengan penumpang lain, dan bau keringat bercampur asap rokok.
- Kereta api kelas ekonomi: Bangku kayu, tidak ada AC, penumpang duduk di lantai atau lorong, bahkan ada yang naik ke atap gerbong.
- Truk bak terbuka: Jadi pilihan terakhir bagi yang kehabisan tiket. Satu-satunya atap adalah langit, angin malam menjadi selimut, dan hujan adalah tantangan tambahan.
3. Jalanan Berlubang, Jembatan Kayu, dan Perjalanan yang Tak Kunjung Sampai
- Sebelum jalan tol merajai jalur mudik, perjalanan adalah ujian kesabaran.
- Jalanan berbatu dan berlubang. Jika hujan, berubah menjadi kubangan lumpur yang sulit dilewati.
- Bus mogok? Hal biasa! Para penumpang sering harus turun dan ikut membantu mendorong.
- Jembatan kayu tua yang harus diperiksa lebih dulu. Sopir turun untuk memastikan jembatan masih kuat dilewati.
- Perjalanan Jakarta-Surabaya bisa memakan waktu lebih dari 24 jam. Tidak ada jalan tol, hanya jalan berliku yang menyusuri desa demi desa.
Namun, justru dalam perjalanan panjang inilah tercipta kisah-kisah tak terlupakan.
4. Saling Berbagi Bekal di Perjalanan
Di tengah keterbatasan, ada satu hal yang selalu membuat perjalanan lebih ringan: kebersamaan.
"Silakan dicoba, Bu, ini ayam goreng bikinan istri saya."