Mohon tunggu...
LeeNaGie
LeeNaGie Mohon Tunggu... Penulis - Freelance Writer

Hobi menulis, membaca dan menonton film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)

30 Mei 2022   19:20 Diperbarui: 30 Mei 2022   19:36 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BRANDON

Mata terasa berat ketika bangun pagi ini. Tidurku tadi malam pulas meski banyak hal mengisi pikiran. Salah satu yang menjadi beban pikiran adalah keinginan memiliki PS3. Aku harus mencoba membujuk Papa, agar mau membelikannya tanpa memberi syarat yang memberatkan.

Aku tidak suka anak-anak meledek ketika tahu hingga hari ini belum memiliki keluaran terbaru dari Playstation itu. Ah, kesal sekali rasanya. Apalagi kemarin sampai merasa tersudutkan ketika mendengar mereka membahas grafis PS3 yang jauh lebih bagus dari PS2. Belum lagi fitur dan lainnya.

Ada lagi yang mengganggu pikiranku sekarang, si Kutilangdara. Dia benar-benar membuatku kesal kemarin. Tak diduga nyalinya besar juga menantangku sampai menanyakan peraturan yang ada dalam klub. Ternyata anak-anak benar, cewek itu memang cerdas sehingga tidak mempan dengan intimidasi yang kulakukan.

"Level gue bukan anak sekolahan yang masih ingusan kayak lo." Kalimat yang dilontarkan si Kutilangdara kemarin kembali terngiang di telinga.

Anak ingusan? Aku? Sembarangan! Baru kali ini ada cewek yang berani mengatakan aku bukan tipenya dan anak ingusan. Jujur harga diriku sangat terluka, sehingga sulit untuk memaafkannya.

Selama ini cewek-cewek baik saat SMP dan SMA suka mencari perhatianku. Tidak sedikit di antara mereka yang mengejar, bahkan melakukan berbagai cara agar dekat denganku. Salah satunya bisa kalian lihat kemarin, geng Chibie. Mereka berlima adalah siswi populer di sekolah. Tapi si Kutilangdara? Apa dia benar-benar tidak tertarik kepadaku? Atau mencoba bermain tarik ulur?

Seketika desahan pelan keluar di sela bibir saat ingat kebersamaan si Kutilangdara dengan pria yang katanya anak kuliahan kemarin. Entah kenapa aku jadi semakin geram melihat gadis itu tersenyum kepada pacarnya. Kepala terasa mendidih, sebaiknya aku mandi saja setelah itu sarapan agar bisa bertemu dengan Papa sebelum berangkat sekolah.

"Bran, sudah bangun?"

Terdengar suara Mama dari luar kamar setelah mengetuk pintu, sebelum aku melangkah ke kamar mandi.

"Udah, Ma. Ini mau mandi," sahutku dari dalam.

"Mama tunggu sarapan di bawah ya. Jangan sampai telat," teriak Mama lagi.

"Iya."

Aku lantas beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Mood-ku benar-benar rusak gara-gara si Kutilangdara. Seenaknya saja mengatakanku dekil, kunyuk dan kemarin anak ingusan. Grrrr!!

Lima belas menit kemudian, aku sudah berpakaian rapi. Setelah mencantolkan tas di pundak kanan, kaki ini segera melangkah menuju ruang makan. Ternyata Papa dan Mama sudah menunggu di sana. Senyuman mengambang di parasku sekarang.

"Bagaimana sekolah?" tanya Papa begitu melihatku memasuki ruang makan.

Ah, Papa sekarang menjadi tidak asik karena selalu bertanya tentang sekolah. Padahal kemarin juga menanyakan hal yang sama. Senyuman kembali surut mendengarkannya.

"Kemarin Papa udah tanya, 'kan?" tanggapku malas.

"Papa itu khawatir sama kamu, Bran." Papa berhenti sebentar karena menyeruput kopi. "Kamu itu satu-satunya pewaris The Harun's Group. Bagaimana jadinya kalau kamu sekolah tidak benar? Apa mau Papa kasih perusahaan kepada Gadis?"

Aku lekas menggelengkan kepala. Tak akan kubiarkan hal itu terjadi. Perusahaan tidak boleh diberikan kepada orang lain, termasuk sepupuku sendiri.

"Nah, kalau begitu kamu harus belajar yang benar. Pokoknya Papa akan stop belikan apapun yang kamu minta, hingga nilai kamu bagus lagi," ancam Papa menatap serius dengan mata hitam kecilnya.

Pandangan ini beralih kepada Mama dengan tatapan memelas. Beliau menggelengkan kepala sebagai tanda tidak bisa membantu sekarang. Aku hanya bisa mendesah saat keinginan membujuk Papa pupus.

Nafsu makan menjadi berkurang. Apa yang harus kulakukan sekarang? Someone help me!

Kami bertiga mulai menyantap sarapan. Meski rasa lapar mendadak hilang, tapi aku tetap harus mengisi perut. Jika tidak, Papa pasti berpikir aku sedang merajuk. Beliau akan bertambah marah kalau tahu.

Begitu selesai sarapan, aku berpamitan kepada Mama dan Papa.

"Jangan lupa ucapan Papa tadi, Bran," cetus Papa sebelum aku meninggalkan ruang makan.

Sepertinya aku akan melewati hari-hari suram. Begitu banyak yang ingin dibeli sekarang selain PS3. Tapi ....

Aku hanya bisa mendesah lagi ketika semua keinginan-keinginan itu tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Bagaimana caranya agar bisa menaikkan nilaiku lagi? Terlalu malas rasanya jika harus mengambil les, Apalagi tidak ada waktu untuk melakukannya, karena pulang sekolah sudah disibukkan dengan latihan basket.

Segera kupacu motor meninggalkan area perumahan menuju sekolah. Semoga saja terjadi keajaiban hari ini dan seterusnya, agar Tuhan mengencerkan otak ini dalam menyerap pelajaran.

Kalian pasti berpikir aku ini lelaki yang nyaris sempurna, 'kan? Memang fisikku tampan dan tinggi. Di usia empat belas tahun tinggiku sudah mencapai 170 centimeter. Itulah yang membuat cewek-cewek di sekolah mengejarku. Mereka bilang tubuhku bagus. Mungkin karena sejak SMP sudah tertarik dengan dunia olahraga, terutama basket.

Selain itu background keluarga menjadi faktor penunjang mereka memujaku. Tapi hanya satu kelemahanku yaitu ternyata Tuhan tidak menganugerahkan otak yang cerdas kepadaku. Aku bersyukur kekurangan satu ini bisa tertutupi dengan wajahku yang good looking. Haha!

Beberapa meter dari gerbang sekolah, netra ini tak sengaja menangkap sosok perempuan dengan rambut dikuncir ke atas. Dia baru saja turun dari motor yang dikendarai oleh lelaki yang diduga anak kuliahan. Seketika tawa singkat keluar dari bibirku saat menyadari dia adalah si Kutilangdara.

Hati merasa dongkol melihatnya melambaikan tangan dengan wajah berseri kepada lelaki itu. Setelah diperhatikan pacarnya tidak jauh lebih tampan dariku. Biasa saja. Tinggi juga kalah dariku, jika nanti aku seusianya. Ternyata selera si Kutilangdara rendah juga. Seenaknya saja mengatakan aku dekil dan ingusan. Sendirinya punya pacar masih jauh di bawahku.

Aku kembali mempercepat laju motor memasuki pekarangan sekolah, lantas berhenti tepat di lokasi parkir seperti biasa. Motor ini selalu terparkir di sisi ujung pelataran. Seluruh siswa yang membawa kendaraan roda dua, tidak berani memarkirkan motor di sana.

Setelah memarkirkan motor, kaki beranjak menuju pintu masuk gedung. Tanpa sengaja tampak si Kutilangdara telah terlebih dahulu berjalan di depan. Aku mempercepat langkah agar bisa berjalan lebih dulu darinya. Tangan segera menyentuh bahunya, kemudian mendorong tubuhnya ke samping dengan kasar. Tak peduli dia oleng karena tindakanku.

Aku hanya melihat sekilas ke arahnya, memastikan si Kutilangdara tidak terjatuh. Sebuah seringaian diberikan kepadanya sebelum kembali melihat lurus ke depan. Wajahnya merah seperti kepiting rebus menahan marah.

"BERHENTI LO, KUNYUK!!" teriaknya keras.

Diri ini terus bergerak tanpa mengabaikan teriakannya. Aku terus naik ke lantai atas menuju kelas. Lebih baik duduk di kelas sambil tiduran menunggu mata pelajaran pertama. Malas jika harus berdebat dengan si Kutilangdara pagi-pagi.

Tak lama kemudian guru Sejarah memasuki ruangan. Kali ini aku harus memasang konsentrasi penuh agar bisa menyerap pelajaran dengan sebaik-baiknya.

Satu jam pelajaran berlalu, aku masih belum berhasil menangkap materi yang disampaikan Pak guru barusan. Mata pelajaran Sejarah gampang sekali membuatku bosan, sehingga belum setengah jalan sudah mengantuk.

Tibalah saatnya pergantian jam pelajaran. Aku merebahkan kepala di atas meja sampai seorang siswi datang ke kelas dengan napas terengah.

"Brandon, tolong!" katanya setelah berdiri tepat di samping meja.

Kepala ini terangkat ke atas saat mengenali cewek ini. Kami berasal di SMP yang sama dan pernah satu kelas, sehingga aku tahu siapa dia.

"Kenapa?" tanyaku dengan nada malas.

Raut cemas tergambar di wajahnya sekarang.

"Tolongin Arini, Bran. Dia dikurung sama geng Chibie di toilet. Nggak ada yang berani bantuin. Mana tadi disiram sama air juga," jawabnya ngos-ngosan.

Aku terkejut mendengar perkataannya. Tubuh ini spontan berdiri dan belari menuju toilet wanita, setelah meraih jaket yang diletakkan di sandaran kursi.

Bersambung....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun