Sejak pemerintah memutuskan tetap menggelar pilkada serentak yang akan di gelar pada 9 Desember 2020, memunculkan banyak persepsi di masyarakat. Hal itu terkait dengan adanya pandemi covid-19 yang sedang dialami indonesia sendiri dan belahan dunia lainnya.Â
Banyak masyarakat yang memiliki kekwatiran, dengan diselenggarakannya pilkada serentak akan memunculkan cluster baru di masyarakat. Selain itu banyak tokoh-tokoh publik, tokoh agama, dan organisasi kemasyarakatan mempertanyakan sikap dan keputusan pemerintah tersebut. Mereka menilai keputusan tersebut merupakan upaya nekat pemerintah yang tidak memperhatikan aspek keselamatan masyarakatnya.
Dengan upaya nekat pemerintah itu memunculkan banyak pertanyaan, kita sebagai masyarakat. Hal yang pertama yaitu terkait dengan hal demokrasi, bagaimana nasib demokrasi kita, apakah masih memiliki nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya. Yang kedua apakah efektif menjalankan demokrasi khususnya mengadakan pilkada di tengah pandemi.Â
Ketiga terkait dengan partisipasi pemilih, apakah pandemi ini tidak memiliki pengaruh terhadap meningkat atau menurunnya partisipasi pemilih. Keempat terkait dengan aspek kesehatan, apa jaminan calon kepala daerah ketika berkempanye memperhatikan protokol kesehatan. Selain itu adakah upaya tegas pemerintah untuk menindak calon kepala daerah yang berkampanye, yang memunculkan kerumunan dan melanggar protokol kesehatan untuk di tindak tegas, atau sebaliknya dalam penindakan dilakukan tebang pilih.
Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu mengelitik kita masyarakat dengan adanya putusan pemerintah yang tetap mengadakan pilkada serentak di indonesia.Â
Yang pertama terkait dengan demokrasi. Menurut Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan intutisional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.Â
Demokrasi di indonesia tidak terlepas dari rakyat, dimana rakyat memiliki kewenagan untuk menentukan pilihannya terkait pergantian pemimpinya. Sehingga pemilu merupakan salah satu aspek atau mekanisme demokrasi. Dengan asas dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan aman.
Di tengah pandemi seperti saat ini, tidak ada jaminan bahwa rakyat dalam memberikan keputusan politiknya berdasarkan keputusan individunya. Hal ini terkait dengan psikologi pemilih, yang merasa takut untuk pergi ke tempat pemungutan suara saat pemilihan berlangsung.Â
Tentu ketakutan tersebut berdasar, akan kekwatiran tertular pandemi covid-19 di tempat pemilihan. Tidak ada jaminan bahwa penyelenggara pemilu akan mampu menerapkan protokol kesehatan terhadap masyarakat. Hal ini didasarkan pada asas demokrasi yaitu berserikat dan berkumpul merupakan upaya dari menjalankan demokrasi.
Dengan pertanyaan kedua, efektifkah menjalankan pilkada di tengah pandemi. Banyak yang menilai bahwa dalam menjalankan pemilihan umum, efektif itu ketika calon kepala daerah mampu mensosialisasikan secara langsung program kerjanya kepada masyarakat dengan berkampanye secara langsung misalnya. Dengan kampanye secara langsung masyarakat akan mampu memahami visi-misi calon kepala daerah, pertanyaannya kampanye itu apakah tidak mengumpulkan massa dan berdampak pada resiko penyebaran pandemi covid-19.
Atas pertanyaan ini banyak yang menjawab, bahwa sekarang adalah era-nya sosial media. Kampanye dalam mensosialisasikan visi-misi calon kepala daerah bisa dilakukan lewat sosial media. Jawaban atas pertanyaan ini ada benarnya, tetapi tidak sangat benar. Jawaban itu tidak mempertimbangkan bahwa, apakah seluruh wilayah di indonesia sudah terjangkau oleh masuknya internet, khususnya daerah terpencil, terluar dan terdalam di indonesia.
Terkait dengan partisipasi pemilih. Setiap adanya penyelenggaraan pemilu, selalu terjadi menurunnya partisipasi pemilih, khsusnya di daerah-daerah dimana kesadaran politik masyarakatnya sangat rendah. Tentu dengan adanya pandemi covid-19 ini akan memiliki pengaruh terhadap pemilih untuk berpartisipasi.Â
Dengan adanya kekhawatiran psikologi pemilih akan mempengaruhi menurunnya partisipasi pemilih. Karena hal ini tidak semua pemilih itu berfikir rasional. Ada perilaku pemilih yang tidak peduli dengan hak politiknya, apalagi dengan kekwatiran tertular covid-19 pada saat memberikan suara.
Yang ke empat terkait dengan aspek kesehatan. Tidak ada jaminan calon kepala daerah mampu menerapkan protokol kesehatan terhadap massanya ketika sedang berkampanye. Ini akan berdampak pada meningkatnya jumlah masyarakat yang tertular. Hal ini atas dasar perilaku pemilih di indonesia.Â
Perilaku pemilih yang rasional, di tengah pandemi seperti saat ini, dia akan memilih berdiam di rumah mencari tentang calon-calon kepala daerah lewat sosial media. Tetapi perilaku pemilih yang fanatik dengan pilihannya, akan memilih hadir langsung dimana calon kepala daerah yang menjadi pilihanya melakukan sosialisasi dan berkampanye. Tentu dari aspek kesehatan, perilaku seperti ini yang sangat dikwatirkan. Belum lagi terkait dengan penindakan terhadap calon kepala dearah yang melanggar protokol kesehatan dan menciptakan kerumunan. Akan sangat sulit untuk mampu ditindak dengan tegas, oleh penegak hukum.
 **Pilkada tidak lebih penting daripada kesehatan**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI