Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Surat Bunda untuk Ayah

11 April 2020   06:00 Diperbarui: 11 April 2020   06:53 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surat Bunda Untuk Ayah


Sulit, sulit dipercaya. Benarkah pria dalam pelukannya ini adalah Ayah? Ayah yang telah lama dicari dan dirindukan.

Ayah Calvin mengeratkan pelukan. Menciumi rambut panjang Silvi. Ciumannya turun perlahan ke kening. Dapat Silvi rasakan hembusan nafas Ayahnya begitu hangat.

Hangat.

Kehangatan menyusup ke hati. Perlahan tapi pasti, kehangatan berganti kedamaian. Damai seperti yang ditawarkan Bunda Manda dan Opa Hilarius dalam pelukan mereka.

Ya, Tuhan, benarkah ini Ayahnya? Sosok ayah yang selalu diimpikan Silvi. Sosok yang selalu menghiasi doa-doanya, kini berdiri tepat di depan mata.

Hati Silvi melambung ke langit malam. Meraih bulan, menggapai bintang. Hei bulan, hei bintang, Silvi telah bertemu Ayahnya! Kalian boleh iri. Kalian tak punya ayah setampan Ayah Calvin.

Tapi...

Ledakan bahagia itu tak lama. Segera saja kembang api kebahagiaan di hati Silvi meledak buyar menjadi gumpalan asap. Menyisakan gelap, basah, dan dingin. Hangatnya kehadiran sang ayah bertransfigurasi menjadi dingin yang membekukan. Dingin itu bersumber dari kesedihan dan kekecewaan teramat dalam.

Dengan kasar, Silvi melepas pelukan Ayah Calvin. Mata birunya berkilat saat dia beradu pandang dengan sepasang mata sipit. Nyalang Silvi menatap pria yang mengalirkan darah ke pembuluh-pembuluhnya.

"Ayah tinggalin Silvi! Ayah biarin Silvi dan Bunda sendirian!" pekiknya. Dia menjumput anak rambut di puncak kepala Ayah Calvin, lalu menariknya.

Silvi menjambak rambut Ayah Calvin. Dia tarik rambut tebal nan rapi itu sepuas-puasnya. Mengerahkan segenap tenaga bersalut amarah dan kecewa. Sedih, kesal, kecewa, dan rindu menyesak di dada kecilnya.

"S-Silvi...Sayang," kata Ayah Calvin terbata. Ia tak melawan sewaktu rambutnya ditarik putrinya sendiri.

"Ayah jahat! Ayah jahat! Ayah jahaaaat!"

Lengkingan suara soprano itu merobek kesunyian malam. Ayah Calvin melirik waswas ke pintu pagar. Takut aksi anarkis putrinya menarik perhatian para tetangga. Peduli amat dengan rambutnya yang menjadi korban.

Bukan, bukan tetangga yang datang. Perkiraan Ayah Calvin meleset. Pagar coklat tua itu berderit, menghadirkan sesosok wanita semampai berkulit putih.

"Assalamualaikum, Silvi. Maaf, Bunda lu..."

Lutut Bunda Manda serasa lemas. Wajah kuyunya bertambah gundah. Matanya melebar sebesar piring kertas melihat sosok tinggi bermata sipit yang mendekap putrinya.

Bunda Manda terhuyung. Punggungnya menabrak pagar. Bungkusan putih yang dibawanya jatuh. Nasi goreng plus minuman di dalamnya terhambur keluar.

"Calvin..." desah Bunda Manda.

Sontak Ayah Calvin menegakkan tubuh. Membuat tangan Silvi menjangkau udara kosong.

"Manda, aku..."

"Untuk apa kamu datang kembali ke sini, Calvin? Semuanya sudah selesai."

"Belum," bisik Ayah Calvin.

"Kita belum selesai."

Sejenak Bunda Manda menutup mata. Tangan putihnya saling pilin di atas perut ratanya. Ia tergugu. Satu-dua bulir air mata berjatuhan.

"Sudah selesai, Calvin. Kamu lebih memilih keluargamu tujuh tahun lalu."

"Aku tidak punya pilihan," sela Ayah Calvin cepat.

"Keluarga kandungku membutuhkanku."

Wanita pertengahan 30-an dengan paras perpaduan Jawa-Belanda itu makin terisak. Hatinya pedih tersayat. Apakah Silvi bukan bagian dari keluarga kandung Ayah Calvin? Silvi juga butuh Ayahnya.

Silvi terjebak di tengah. Terjebak di antara perselisihan orang tuanya. Perselisihan berbalut keheningan, tanpa teriakan dan nada suara meninggi.

"Kaupikir Silvi tidak butuh Ayahnya? Dia selalu...selalu mencari-cari Ayahnya."

Ujaran Bunda Manda menghentak kesadaran Ayah Calvin. Dia menunduk, menatap anak semata wayangnya. Telah salah langkahkah pria tampan itu? Setengah mati Ayah Calvin mengurus anggota keluarga kandungnya yang sakit. Anaknya sendiri ia abaikan.

Bibirnya membuka. Bersiap meluncurkan permintaan maaf dan sederet penjelasan. Belum sempat rangkaian kata itu terlontar, bunyi dentingan sendok beradu dengan mangkuk terdengar dari luar pagar. Seorang pria gempal melintas dengan sepedanya. Bukan sepeda biasa, sebab di atasnya terisi aneka jenis minuman hangat: kopi, teh, susu hangat, ronde, dan bandrek.

"Bu Manda, Silvi..." panggilnya, tersenyum ramah.

"Waduh, saya mengganggu keluarga bahagia ya? Bu Manda, kasep pisan nya' Ayahnya Silvi. Saya teh juga mau pakai jas kayak gitu." Tunjuk si pedagang minuman hangat ke arah Ayah Calvin.

Ups, mereka lupa. Mereka tinggal di kompleks perumahan sederhana. Kompleks dimana penjual makanan bebas lalu-lalang. Tempat tinggal Bunda Manda jauh sekali bila dibandingkan dengan mansion mewah milik Ayah Calvin di kaki gunung di utara sana.

"Bu Manda, sok atuh diajak masuk Ayahnya Silvi. Karunia..."

Merasa menemukan pembela, Ayah Calvin tersenyum pada pria gempal berkaus biru itu. Bunda Manda menghapus tangisnya. Tangan kiri menarik lengan Silvi, tangan satunya menggamit jemari Ayah Calvin.

"Tunggu." Ayah Calvin menahan penjual minuman itu.

"Saya beli semuanya."

Bunda Manda melotot. Apa-apaan suaminya ini? Di antara mereka, tak ada yang ingin minum minuman hangat saat ini.

Dari saku jasnya, Ayah Calvin mengeluarkan tiga lembar uang ratusan ribu. Diserahkannya lembaran-lembaran uang itu pada si penjual minuman.

"Wah, ini mah kebanyakan. Saya nggak punya kembaliannya. Kamu punya uang banyak-banyak amat, ganteng."

Lama-lama Ayah Calvin merinding juga. Dari tadi penjual minuman berwajah lugu ini memujinya tampan. Mungkinkah dia punya orientasi seksual menyimpang?

"Semuanya buat kamu," ujar Ayah Calvin tenang.

Giranglah hati si pedagang minuman. Ini malam keberuntungannya. Jarang-jarang dia bertemu pembeli royal semacam Ayah Calvin.

"Hatur nuhun...hatur nuhun, ganteng." Ucapnya berkali-kali, senyumnya melebar.

Silvi menyaksikan tingkah laku Ayahnya dengan sorot mata aneh. Ayah Calvin baik sekali, pikirnya. Tapi, kenapa sepertinya Bunda Manda tak suka dengan kembalinya Ayah?

Meja tamu dipenuhi gelas-gelas plastik mengepul. Seolah punya salah besar, Bunda Manda memelototi deretan gelas plastik penuh minuman itu. Siapa yang akan menghabiskan minuman sebanyak ini?

"Siapa bilang tak ada yang butuh minuman hangat di sini?" Ayah Calvin berkata seraya mengambil gelas berisi teh. Menyesapnya pelan dalam beberapa tegukan.

"Aku perlu minuman hangat untuk meringankan flu. Selebihnya bisa kita bagikan untuk pengurus jenazah Papa Hilarius."

Mendengar itu, Bunda Manda tertegun. Dia telah melupakan tujuan sebenarnya pulang sebentar. Mestinya ia segera kembali ke rumah duka. Dan...apa kata suaminya tadi? Flu? Flu mungkin ringan bagi orang biasa, tetapi tidak untuk Ayah Calvin.

"Kenapa, Manda? Mencemaskanku?"

Senyum simpul bermain di bibir Ayah Calvin melihat raut cemas melintas di wajah istrinya. Bunda Manda mendesah panjang. Mengenyakkan diri di sofa. Tidak, tak bisa dia sepenuhnya membenci Ayah Calvin.

"Ayah sakit?"

Celetukan Silvi sedikit mengurai ketegangan. Tangan mungilnya menyentuh halus tangan Ayah Calvin. Sedetik kemudian, tangan yang digenggamnya bergerak. Pria akhir empat puluh itu terbatuk.

"Sebentar, Sayang."

Silvi berlari mengejar. Aneh, mengapa Ayahnya seakan hafal betul letak ruangan di rumah ini? Terlihat Ayahnya memuntahkan sesuatu di wastafel. Sedikit rasa takut membasuh hati Silvi.

**     

Berat bebanku meninggalkanmu

Separuh nafas jiwaku sirna

Bukan salahmu

Apa dayaku

Mungkin benar cinta sejati

Tak berpihak pada kita

Selasa, 31 Januari

Dear, Calvin

Kenapa kamu meninggalkanku? Kenapa kamu lebih memilih keluargamu? Pertanyaannya adalah, apakah bayi perempuan yang belum lama ini kulahirkan bukan keluarga kandungmu? Dia darah dagingmu, Calvin.

Silvi butuh Ayahnya. Tapi dengan teganya, kau justru tinggalkan putri kita. Bagaimana aku bisa mengenalkanmu pada Silvi sedangkan dirimu tak ada di sisinya?

Kembalilah, Calvin. Atau kamu ingin berpisah denganku? Aku bersedia berpisah baik-baik. Tetapi setidaknya kembalilah sebentar saja.

Calvin...

Aku mencintaimu.

Manda

Kasihku sampai di sini

Kisah kita

Jangan tangisi keadaannya

Bukan karena kita berbeda

Dengarkan dengarkan lagu

Lagu ini melodi rintihan hati ini

Kisah kita berakhir di Januari (Glenn Fredly-Januari).

Sehelai surat itu Ayah Calvin temukan saat ia akan menidurkan Silvi. Masih tertinggal jejak air mata yang telah mengering di beberapa tempat. Beberapa jurus kemudian, kertas itu kembali basah.

"Ayaaaaah....ayo tidur!"

Suara nyaring Silvi memutus lamunannya. Cepat disekanya ujung mata. Ayah Calvin naik ke tempat tidur. Membawa Silvi dalam rengkuhannya.

Biarkan, biarkan malam ini Ayah Calvin menebus momen yang hilang bersama putrinya. Hati Silvi berdesir. Ini malam pertama dirinya tidur bersama Ayahnya. Berpelukan hangat pada selimut yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun