Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Surat Bunda untuk Ayah

11 April 2020   06:00 Diperbarui: 11 April 2020   06:53 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Wah, ini mah kebanyakan. Saya nggak punya kembaliannya. Kamu punya uang banyak-banyak amat, ganteng."

Lama-lama Ayah Calvin merinding juga. Dari tadi penjual minuman berwajah lugu ini memujinya tampan. Mungkinkah dia punya orientasi seksual menyimpang?

"Semuanya buat kamu," ujar Ayah Calvin tenang.

Giranglah hati si pedagang minuman. Ini malam keberuntungannya. Jarang-jarang dia bertemu pembeli royal semacam Ayah Calvin.

"Hatur nuhun...hatur nuhun, ganteng." Ucapnya berkali-kali, senyumnya melebar.

Silvi menyaksikan tingkah laku Ayahnya dengan sorot mata aneh. Ayah Calvin baik sekali, pikirnya. Tapi, kenapa sepertinya Bunda Manda tak suka dengan kembalinya Ayah?

Meja tamu dipenuhi gelas-gelas plastik mengepul. Seolah punya salah besar, Bunda Manda memelototi deretan gelas plastik penuh minuman itu. Siapa yang akan menghabiskan minuman sebanyak ini?

"Siapa bilang tak ada yang butuh minuman hangat di sini?" Ayah Calvin berkata seraya mengambil gelas berisi teh. Menyesapnya pelan dalam beberapa tegukan.

"Aku perlu minuman hangat untuk meringankan flu. Selebihnya bisa kita bagikan untuk pengurus jenazah Papa Hilarius."

Mendengar itu, Bunda Manda tertegun. Dia telah melupakan tujuan sebenarnya pulang sebentar. Mestinya ia segera kembali ke rumah duka. Dan...apa kata suaminya tadi? Flu? Flu mungkin ringan bagi orang biasa, tetapi tidak untuk Ayah Calvin.

"Kenapa, Manda? Mencemaskanku?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun