** Â Â
Aku menggandeng tangan Catharina ke kapel. Wajah sahabatku ditekuk. Apa aku salah lagi? Bukankah janjiku untuk menemaninya ke kapel pagi ini sudah kulunasi?
"Catharina, senyum dong. Di rumah, aku ketemu Papa yang dinginnya kayak es krim. Masa di sekolah aku ketambahan muka cemberut kamu?" paksaku.
Catharina mengentakkan sepatunya ke paving block. "Kamu nggak punya waktu sejak ikut OSIS bodoh itu!"
Kalau bukan Catharina sahabatku, sudah kutampar mulut orang yang membodoh-bodohkan OSIS. Organisasi paling top di sekolahku itu bukan organisasi bodoh. Prokernya keren-keren, dan kinerja pengurusnya super.
"Sorry...waktuku memang berkurang banyak. Tiap Senin-Kamis rapat dan semacamnya. Tapi, aku tetap sayang sama kamu." ucapku meyakinkan.
"Ok, kalo kamu masih sayang sama aku. Nanti sore temenin aku ke mall. Udah lama kita nggak ngemall kayak dulu."
Aku mengangguk. Kebetulan, sore ini tidak ada agenda rapat OSIS. Obrolan membawa kami sampai di kapel. Anak-anak memulai doa pagi. Aku duduk di bangku belakang, memperhatikan jalannya doa dengan khidmat.
Usai doa pagi, kami bergegas ke ruang musik untuk mengikuti pelajaran pertama. Frater Gabriel menyambut kami hangat seperti biasa. Dia menanyakan tugas yang diberikannya pada kami minggu lalu.
"Siapa yang mau coba duluan? Yang duluan coba, saya beri nilai tambahan."
Kuangkat tanganku. Natasha merengut. Ia kalah cepat. Aku pun berjalan mantap menuju grand piano. Kumainkan lagu yang telah kulatih berulang kali sepanjang minggu.