"Apa saya akan terus menjadi manusia obat? Kemana-mana harus membawa obat dan meminumnya." Calvin berujar miris.
"Peluang sembuh selalu ada, Calvin. Kamu hanya perlu bersabar."
Kalau bukan karena Silvi, sudah lama Calvin bertekuk lutut. Penyakit ini menguras deposito dan daya tahan tubuhnya. Gegara NSCLC, rencana-rencana Calvin tak selonggar dulu.
Setelah menebus obat ke bagian farmasi, Calvin beranjak ke lobi. Supirnya telah menanti. Langit menangis, mengeluarkan air matanya dengan penuh emosi. Satu kakinya menginjak lobi tepat ketika iPhoenya bergetar. Pop up bertuliskan Silvi berpendar di layar.
"Ayah, bisa jemput aku?" Suara manja di seberang sana mengusir galau hatinya.
"Bisa banget, Sayang. Kamu dimana? Masih di sekolah?"
"Aku di mall, Ayah. Bentar aku shareloc. Bye."
Semenit kemudian, Silvi mengirimkan lokasi. Calvin menyuruh supirnya mengarahkan mobil ke mall.
Sesampai di mall, tempat parkir penuh sekali. Basement dan lapangan parkir di luar dipenuhi kendaraan beraneka jenis. Maklum, tanggal tua telah berganti tanggal muda. Nafsu belanja orang urban kembali menggila.
Calvin mulai tak sabar. Silvi pastilah sudah lama menunggu. Di seberang mall, terdapat toko buku. Dimintanya supirnya parkir mobil di toko buku. Dia akan menjemput Silvi di dalam.
"Hujannya deras sekali, Tuan. Tuan bisa sakit..." Supir itu berkata ragu.