Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah] Berat Meninggalkanmu Sendiri

18 November 2019   06:00 Diperbarui: 18 November 2019   06:05 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Opus 5

Berat Meninggalkanmu Sendiri


-Fragmen Silvi

"Apa lagi ya? Baju olahraga, sabun, shampoo, sajadah, botol air, senter, lilin, jas hujan..."

Aku meraba-raba ransel besarku. Mengabsen barang demi barang yang telah kujejalkan ke dalamnya. Di samping ransel, tas lain yang berukuran lebih kecil menggembung penuh isi.

"Kurang dua, Sayang." timpal Ayah.

Kutolehkan kepala. Ayah berlutut di belakangku. Ia menguncirkan rambutku. Hatiku menghangat. Sudah lamaaaa sekali aku tidak dikuncirkan oleh Ayah ataupun Papa.

"Dan jangan lupa berdoa sebelum berangkat."

Aku mengangguk setuju. Kuakui, Ayah lebih religius dari Papa. Sebagian besar waktu Papa habis untuk urusan dunia. Sedangkan Ayah lebih banyak berkontemplasi, refleksi, dan rekoleksi.

Kupejamkan mata. Kurasakan tangan hangat Ayah menggenggam jemariku. Oh my God, kenapa tangan Ayah terasa lebih hangat dari biasanya? Apakah Ayah sakit lagi? Apakah obat-obat kemoterapi itu membuatnya demam lagi? Pikiranku berkecamuk.

"Ya, Allah, jagalah Ayahku. Angkatlah rasa sakitnya, lindungilah ia dari segala marabahaya." doaku dalam hati.

Bukannya mendoakan kelancaran LKO, aku malah mendoakan Ayah. Kekhawatiran merobek dadaku. Bagaimana kalau Ayah ngedrop lagi saat tak ada siapa-siapa? Mana Sonia sering izin belakangan ini. Aduh, aku khawatir.

"Tadi kamu berdoa apa?" tanya Ayah kepo.

"Aku doain Ayah. Biar Tuhan jaga Ayah selama aku pergi." jawabku jujur.

Ayah mengusap lembut rambutku yang terkuncir rapi. Kulihat pancaran haru di matanya.

Kenapa terasa berat begini? Aku berat meninggalkan Ayah sendirian. Bayang-bayang pikiran negatif bergumul di kepalaku.

"Kenapa, Silvi?"

"Aku nggak bisa tinggalin Ayah sendiri. Aku takut Ayah sakit, aku takut Ayah kenapa-napa."

Ekspresi ganjil menyapu wajah Ayah. Sepertinya aku salah bicara.

"Berhenti berpikiran negatif, Sayangku. Kamu mau Ayah beneran sakit?" tegur Ayah halus.

Aku menggeleng kuat-kuat. Bibirku terkatup rapat.

"Terus berpikiran negatif sama saja berdoa jelek untuk Ayah. Sudah ya, Nak. Kamu harus fokus dengan LKO."

Kugigit bibirku. Perlahan aku bangkit, menyandang ransel, dan menggandeng tangan Ayah. Kami berjalan menuruni tangga. Masih ada waktu dua jam lagi sebelum LKO. Jarak rumah dengan sekolah bisa ditempuh lima belas menit kalau bermobil.

Kuhentikan langkah di depan grand piano. Ayah menatapku bingung. Sebelum pergi, aku ingin bernyanyi untuk Ayah. Ketika kusodorkan selembar partitur, Ayah paham. Ia rampas partitur di tanganku, membacanya cepat-cepat, lalu mulai menekan tuts piano.

Kutahu kamu bosan

Kutahu kamu jenuh

Kutahu kamu tak tahan lagi

Ini semua salahku

Ini semua sebabku

Kutahu kamu tak tahan lagi

Jangan sedih, jangan sedih

Aku pasti setia

Aku takut kamu pergi

Kamu hilang, kamu sakit

Aku ingin kau di sini

Di sampingku selamanya

Jangan takut, jangan sedih

Aku pasti setia

Aku takut kamu pergi

Kamu hilang, kamu sakit

Aku ingin kau di sini

Di sampingku selamanya

Aku takut (Jangan takut) kamu pergi (Takkan pergi)

Kamu hilang, kamu sakit

Aku ingin (Aku juga) kau di sini (Bersamamu)

Di sampingku selamanya

Aku takut (Jangan takut) kamu pergi (Takkan pergi)

Kamu hilang, kamu sakit

Aku ingin (Aku juga) kau di sini (Bersamamu)

Di sampingku (Di sampingmu) selamanya (Vierra-Takut).

**    

Ayah membukakan pintu mobilnya untukku. Hatiku bergetar. Rasanya seperti seorang putri. Papa saja tak pernah memperlakukanku semanis ini.

Kami berjalan ke gerbang sekolah. Peserta LKO dilarang berkendara sampai gerbang. Sebelum berpisah, Ayah mendekapku erat sekali.

"Jam berapa kamu boleh pegang handphone?" tanyanya.

Kubuka buku mungil berisi rundown acara. "Jam dua belas siang dan jam setengah enam sore, Ayah."

"Ok. Nanti Ayah telpon ya."

Aku membalas ucapannya dengan senyum manis. Entah mengapa, aku tidak sabar menunggu jam-jam itu tiba.

Sepersekian detik Ayah masih berdiri di depanku. Rupanya kami sama-sama berat untuk berpisah. Ayah mencium keningku hangat.

"Good luck, Dear." bisiknya.

Peserta LKO yang mulai berdatangan menatap kami iri. Di antara mereka, akulah peserta LKO yang paling mesra bersama orang tua. Belum lagi, Ayahku sangat tampan. Pantas saja mereka ingin merebut posisiku.

Aku membalikkan badan. Langkahku berat memasuki gerbang. Kumantapkan hati, kusiapkan mental. Ini pilihanku, dan tinggal selangkah lagi aku bisa mengenakan lencana OSIS keemasan di dadaku.

Kujumpai Frater Gabriel. Sejuk perasaanku melihat senyuman ramahnya.

"Frater, makasih ya e-mailnya." tukasku.

Sebelah alis Frater Gabriel terangkat. "E-mail?"

"Iya. Semua e-mail yang Frater balas ke akun saya."

Aneh, kenapa Frater Gabriel nampak bingung? Masa sih, dia seperti orang kena Mantra Confundus atau Jampi Memori di serial Harpot? Ah, entahlah. Aku tak sempat menjelaskan. Seorang kakak kelas menggiringku ke lapangan.

LKO dimulai. Pertama kami disuruh baris berbaris. Kami di-brieffing panitia selama sepuluh menit. Lalu, kami dibagi dalam lima kelompok. Aku sekelompok dengan si kembar Rossa dan Yasmin. Mereka dari kelas X MIA 3, persis di samping kelasku.

"Hai, Silvi. Seneng deh sekelompok sama kamu." Rossa menyapa dengan penuh semangat.

Tuluskah ucapannya? Mana kutahu. Aku hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Bisa saja si kembar setinggi tiang listrik ini hanya bermanis-manis padaku, seperti rerata temanku yang lain.

Datanglah kakak-kakak alumni OSIS. Mereka bergiliran memberikan materi tentang keorganisasian. Kuduga momen LKO menjadi ajang temu kangen bagi mereka. Sepanjang sesi pematerian, Rossa dan Yasmin duduk di kanan-kiriku.

Kegiatan serasa lambat dan terstruktur. Pematerian, games, tes fisik, baris berbaris, pematerian lagi, dan seterusnya. Kami dilarang bermain smartphone. Saat makan siang tiba, kami diharuskan menghabiskan makanan dalam waktu lima menit.

"Sekarang...buka bekal kalian!" perintah Frater Gabriel.

Kubuka kotak bekal. Aroma beef teriyaki menguar. Aku terpana. Ayah mencetak nasi membentuk dua panda imut. Daun selada terhampar sebagai alas kotak. Potongan wortel, tomat, paprika, dan sosis berbentuk bintang.

"Wah, bentonya lucu. Siapa yang bikin? Ibu kamu ya?" ceplos Rossa.

Aku tertawa tertahan. Andai saja dia tahu, aku tak punya ibu. Tapi, Allah menggantinya dengan Ayah yang rupawan dan serba bisa.

"Kalian hanya punya waktu lima menit. Mulai dari...sekarang!"

Manik mataku melirik si kembar. Kupandangi Yasmin yang membuat tanda salib dan berdoa dengan tergesa. Sebaliknya, samar kudengar Rossa bergumam.

"Allahumma baarik llanaa fiima razaqtanaa waqinaa adzaa ban-naar."

Aku tersentak. Apakah kembar ini beda agama? Luar biasa. Aduh, apa-apaan sih aku? Kenapa aku perhatikan mereka? Harusnya aku, kan, makan juga.

Aku makan terburu-buru. Pokoknya, bekal dari Ayah tidak boleh tersisa. Ayah sudah bersusah payah membuat bekal cantik ini, masa mau disisakan? Berulang kali aku nyaris tersedak.

"Waktunya habis! Semuanya berhenti makan!" perintah Frater Gabriel tepat ketika bekalku tandas.

Rossa gelagapan. Bibirnya belepotan saus. Tanpa diminta, kuberi dia dua lembar tissue. Dia berterima kasih seraya mengelap bibirnya.

Frater Gabriel berkeliling memeriksa kotak bekal kami. Hampir semua peserta LKO gagal menghabiskan makanan dalam waktu lima menit. Hanya aku yang mampu menghabiskannya. Mereka yang bekalnya tidak habis dihukum. Aku tertawa dalam hati menyaksikan rekan-rekanku disuruh menyanyi sambil berjoget.

Usai makan siang, aku dan Rossa izin sebentar untuk shalat. Kami diberi waktu lima belas menit. Kucuri waktu untuk menelepon Ayah. Tadi saat jam memegang handphone, aku keasyikan menikmati pesona Frater Gabriel sampai-sampai aku lupa.

Terdengar nada tunggu. Aku menunggu dengan tak sabar. Sedetik berselang, teleponku diangkat.

"Sayangku..."

Ah, tenang hatiku mendengar suara Ayah.

"Ayah, tadi bekalku habis."

"Good girl."

"Ayah sehat, kan?"

"Sehat. Sudahlah, jangan khawatir terus."

Kudengar Ayah terbatuk di sela pembicaraan kami. Aku pun mendengar Ayah membuang ingusnya. Hatiku disergap cemas. Apakah kondisi Ayah sedang menurun?

Sisa siang ini berlalu dalam cemas Konsentrasiku berkurang selama mengikuti pematerian dan baris berbaris. Aku kepikiran Ayah.

Pukul empat sore, tiba waktunya snacking time. Aku kaget bercampur bingung. Kenapa tidak ada makanan ringan di ranselku? Mungkin ada di tas satunya. Aku lebih terkejut lagi. Segunung camilan ringan disiapkan Ayah untukku. Keripik kentang, permen, biskuit gandum, pop corn rasa susu keju, kue-kue, sepuluh batang Silver Queen, dan tiga kotak pocky. Camilan sebanyak ini, mana mungkin kuhabiskan sendiri?

"Kamu nggak makan?"

Suara barithon Frater Gabriel menembus gendang telingaku. Kucuri pandang ke arah kiri. Terlihat Frater beerkulit putih itu menghampiri seorang peserta LKO yang paling pendiam. Peserta LKO itu hanya membawa ransel kusam dan sepatunya tanpa merk.

"Saya nggak punya uang buat beli snack, Frater. Uang saya habis untuk beli obat adik."

Segera kuberikan sebagian snackku untuknya. Dia kelihatan senang sekali. Frater Gabriel melempar senyum mautnya padaku.

**    

-Fragmen si kembar

Kegelisahan menyerbu, menjajah hati yang membiru karena sepi. Calvin tak tahan berdiam diri terus di rumah. Berbaring selama berjam-jam di tempat tidur justru membuatnya tambah sakit. Diremasnya gumpalan tissue penuh darah, dan benda-benda putih itu berakhir di tempat sampah.

Calvin meluncur ke sekolah Silvi. Ia sampai menjelang Maghrib. Gerbang sekolah nyaris ditutup. Pria berjas hitam itu berpapasan dengan Frater Gabriel.

"Anda...Ayahnya Silvi, kan?" tebaknya.

Ingatan Frater Gabriel masih belum berkarat. Calvin menganggukkan kepala. Dia minta izin dipersilakan masuk.

"Maaf, LKO hanya untuk siswa calon pengurus OSIS." Frater Gabriel menolak halus.

"Iya, saya tahu. Saya takkan mengganggu. Izinkan saya menemani Frater."

"Menemani saya? Saya tak perlu ditemani..."

Calvin berkeras. Ia melepas jasnya, memperlihatkan kemeja putih polos. Dikenakannya apron putih, kacamata hitam, dan topi. Tak ada yang tahu kalau itu dirinya.

"Anda wali murid paling ngotot yang pernah saya jumpai." komentar Frater Gabriel.

"Terserah apa kata Anda. Kalau suatu saat nanti Anda meninggalkan kehidupan membiara lalu memiliki anak, Anda akan tahu bagaimana rasanya menjadi ayah."

Frater Gabriel tertawa sumbang. "Sangat kecil kemungkinan saya lepas jubah."

Untunglah dia berhadapan dengan Calvin yang penyabar. Anak muda sok idealis itu akan habis jika dibantai Adica yang skeptis.

"Anak saya menyukai Anda," ujar Calvin tenang.

Seulas senyum simpul terukir di bibir Frater Gabriel. Ia tak selemah konfraternya. Sejumlah teman seangkatan Frater Gabriel di Seminari terhenti langkahnya hanya gegara lawan jenis.

"Anda mau mempengaruhi saya?"

"Tidak. Saya hanya ingin membuat Silvi bahagia."

Ketulusan terpancar dalam di mata Calvin. Begitu tulusnya pancaran energi itu hingga Frater Gabriel terhanyut. Namun, tembok imannya terlalu kuat. Kecintaannya pada Santo Fransiskus dari Asisi dan keteguhannya sebagai Saksi Kristus mengalahkan cinta kasih seorang ayah.

Sekumpulan petugas katering muncul. Mereka membawa piring-piring makan. Calvin melesat di antara mereka, menyamar menjadi pembawa piring makan malam.. Sebentar lagi, tibalah acara yang paling ditunggu peserta LKO: candle light dinner.

Frater Gabriel menyuruh para peserta berkumpul. Dari lapangan, mereka akan berjalan ke kelas untuk makan malam bersama. Seluruh penerangan di sekolah dipadamkan. Sebagai gantinya, dinyalakan ratusan lilin. Suasana mencekam karena gelap sekaligus mendebarkan karena gairah.

Mulailah para peserta LKO bermarching band menuju ruang-ruang kelas. Mereka berjalan sambil bernyanyi. Frater Gabriel memandu mereka menyanyikan lagu Gaudeamus Igitur. Entah ide apa yang merasuki kepalanya hingga lagu itu yang dipilih untuk dinyanyikan sebelum candle light dinner.

Mata Calvin tak puas-puas memandang Silvi. Ia akan ada di dekat anak cantik itu, selalu ada. Firasatnya membisikkan, ia harus berada di dekat Silvi selama makan malam berlangsung.

Ruangan kelas hanya diterangi lilin. Meja-meja bertaplak putih terisi dua kursi. Tiap meja dipasangi lilin di atasnya. Seakan ada tangan tak kasat mata yang menyalakan lampu di otaknya, Calvin paham. Peserta LKO akan makan malam berpasangan. Ini menarik sekaligus menyedihkan.

Dugaannya tepat. Silvi tak kebagian berpasangan. Sambil melepas apronnya, Calvin menghampiri Frater Gabriel.

"Temanilah anak saya makan malam," pintanya.

Frater Gabriel menggeleng.

"Tolonglah. Anda lihat sendiri, kan? Anak saya sendirian."

"Biarkan dia sendirian kalau begitu."

Teganya Frater Gabriel. Frater statusnya, baja hatinya.

"Anak saya berbeda, dia spesial di antara lainnya. Tegakah Anda biarkan dia satu-satunya peserta LKO yang tidak punya pasangan?"

Frater Gabriel mematung.

Sementara peserta lainnya mulai makan bersama pasangan masing-masing, Silvi belum menyentuh alat makannya. Dia bingung dan kesepian. Dia masih menunggu pasangannya.

Baiklah, ini tak bisa dibiarkan. Calvin menyampirkan jas hitam Versace itu di tubuhnya. Pencahayaan yang minim memperkecil kemungkinan Silvi mengenalinya.

Kepala Silvi tengadah saat kursi di depannya ditarik. Senyum gadis itu melebar melihat seseorang datang ke mejanya.

"Kamu pasanganku, ya?" sambutnya antusias.

Calvin tak bersuara. Ia hanya tersenyum. Jangan sampai Silvi mengenali suaranya.

Salad, chicken cordon bleu, puding, dan pai apel tersaji di meja. Mereka makan tanpa bicara. Silvi terus bicara dan bertanya. Ketika gadis itu kesulitan memotong makanannya, Calvin mengulurkan tangan. Dipegangnya tangan gadis itu, dibantunya Silvi menggerakkan pisau membentuk potongan-potongan ayam berlumur saus itu.

"Terima kasih..." kata Silvi ceria.

Ah, anak itu. Andai saja dia tahu siapa pasangan candle light dinnernya.

Calvin terus membantu Silvi memotong-motong makanannya. Hati Silvi berselimut damai.

"Tangan ini...seperti tangan Ayah. Ah, mana mungkin? Ayah, kan, nggak ada di sini." Silvi bergumam sendiri.

Hati Calvin mencelos. Sediam apa pun ia, sekeras apa pun usahanya menyamar, sedikit-banyak Silvi merasakan sesuatu yang khas darinya. Walau begitu, Calvin rela mempertaruhkan apa saja, termasuk rasa malu, agar tetap bersama Silvi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun