Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah] Perabotan Menangis

14 November 2019   06:00 Diperbarui: 14 November 2019   06:03 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Opus 3

Perabotan Menangis

-Fragmen Silvi

Pelajaran apa yang paling dibenci? Kalau kalian tanya aku, jawabannya Matematika. Memang tak sulit bagiku meraih angka sembilan di pelajaran ini. Namun, tetap saja aku tak menyukainya.

Celakanya, Matematika dijadwalkan paling siang. Siksaan dobel bagi kami, murid sekelas. Ruangan berAC, perut kekenyangan sehabis makan siang, ditambah lagi suara Bruder Marius yang mirip dengung penyedot debu, membuat kami terkantuk-kantuk. Aku membenamkan kepala di lengan. Aku berkhayal andai saja pelajaran ini diajarkan Frater Gabriel.

Ah, mana mungkin? Frater yang lagi TOP (Tahun Orientasi Pastoral) itu, kan, hanya mengajar pelajaran agama dan pelajaran musik. Belum tentu juga Frater Gabriel pintar ilmu hitung.

"Silvi..."

Rasanya aku mendengar suara. Ah, bodo amat. Kulanjutkan tidur siangku.

"Silvi!"

Suara apa itu? Apa ada yang sedang menggerakkan vacum cleaner di samping mejaku?

"Silvi Gabriella Tendean!"

Aku terlonjak. Penyedot debu itu berdengung di telingaku.

"Vacum cleaner...vacum cleaner." gumamku tak jelas.

Seisi kelas menatapku. Mereka semua, kecuali Catharina, tertawa mengejek. Tawa Natasha paling lebar.

"I...iya Bruder?"

"Kerjakan soal logaritma itu!" tunjuk Bruder Marius ke whiteboard.

Aku berjalan lambat ke depan kelas. Mata biruku menjelajahi angka demi angka yang bergulir seperti ular. Spidol berdecit-decit di papan puih, menggoreskan jawaban. Jawaban berikut cara pengerjaan selesai kudaraskan. Aku berbalik ke bangku, masih dengan mata mengantuk.

"Good job."

Jawaban sempurnaku membungkam seluruh kelas. Rasakan kalian, salah sendiri meremehkan Silvi putri Ayah Calvin dan Papa Adica.

"Nggak usah dimasukkin hati ya," hibur Catharina.

Aku mendengus tak peduli. Baru saja kubenamkan kembali kepala di lenganku, interkom sekolah berbunyi.

"Kepada seluruh calon pengurus OSIS, harap berkumpul di ruang 55 sepulang sekolah."

Kantukku lenyap seketika. Inilah yang kutunggu. Catharina menoleh padaku, tersenyum penuh arti.

"Asal kegiatan non-akademis aja, kamu semangat banget."

Ah, dia memang sahabatku. Catharina tahu persis apa yang kusuka dan yang tidak kusukai. Di sekolah ini, sahabatku hanyalah Catharina. Hampir semua murid hanya mendekatiku karena aku cantik dan pintar. Tak ada yang sungguh-sungguh mau berteman baik denganku.

Usai jam pelajaran, aku naik ke latai empat. Di sanalah ruang 55 berada. Aku calon pengurus OSIS yang tiba paling awal. Sengaja kutempati bangku di barisan paling depan.

Frater Gabriel datang. Aku menahan napas. Lagi-lagi aku hanya berdua dengannya.

"Kamu rajin banget ya. Datang duluan." pujinya.

Aku melting. Frater Gabriel bisa aja bikin murid binaannya meleleh. Kalau aku sampai bisa membuatnya lepas jubah, namaku layak masuk Guiness Record.

"Frater, aku boleh minta nomor WA nggak? Siapa tahu aku mau konsultasi gitu." pintaku.

"Nomor WA?" ulang Frater Gabriel.

"Iya. Kalau aku butuh bantuan Frater..."

Frater Gabriel menggeleng. Aku kecewa. Jangan-jangan aku dikira gadis penggoda.

"Saya nggak punya WA. Di Seminari, kami hanya punya satu HP. Kami menyebutnya HP angkatan. HP itu hanya digunakan kalau ada keperluan sangat penting, pakainya pun harus bergiliran."

Oh, aku paham. Ternyata Frater Gabriel bukannya tak mau memberi nomor WA, tapi karena dia tak punya.

"Ok, nggak apa-apa. Kalau alamat e-mail ada?"

"Ada. Saya tuliskan ya."

Hatiku melonjak girang. Yes, paling tidak aku punya kontak Frater Gabriel.

Sambil menunggu kedatangan calon pengurus OSIS yang lain, kami mengobrol. Aku bertanya mengapa gaya hidup di Seminari begitu aneh. HP saja hanya boleh ada satu di angkatan. Jawaban Frater Gabriel sungguh membuatku tercengang.

"HP itu barang duniawi. Seminari mendidik para calon Pastor untuk tidak terikat dengan hal-hal keduniaan. Kami hanya boleh bersandar pada Tuhan."

Obrolan kami terputus. Aku mengantongi segulung kertas berisi alamat e-mail. Frater Gabriel mulai memberi penjelasan pada kami tentang LKO (Latihan Kepemimpinan OSIS) yang akan diadakan Sabtu depan. Aku mendengarkan dan mencatat semua barang yang harus dibawa tanpa terlewat satu pun.

**    

Hari sudah sore. SUV hitam yang membawaku berbelok ke halaman rumah super luas. Aku melompat turun, dan berlari masuk.

Kosong. Rumahku sesunyi mausoleum. Papa dan Ayah tak kutemukan. Aku mencari-cari di ruang tamu, ruang santai, ruang makan, kedelapan kamar tidur, garasi, dan kolam renang. Kumasuki paviliun. Sama saja. Hanya keheningan yang menyambutku.

"Sonia! Soniaaaa!" teriakku.

"Datang, Nona."

Seorang perempuan berkulit hitam manis dan berambut kribo tergesa mendekat. Satu tangannya memegang alat pel.

"Papa sama Ayah mana?" tuntutku.

"Mereka pergi, Nona. Beta tak tahu mereka kemana. Tapi...tadi beta lihat, Nona punya Ayah mimisan."

Ayah mimisan? Sakit lagi rupanya. Kenapa Ayah gampang sekali drop? Kecapekan dikit, langsung sakit. Kena udara dingin di larut malam, sakit. Sekali saja kurang tidur, langsung gampang batuk dan pilek. Repot juga punya ayah penyakitan. Aku terus saja memaki Ayah dalam hati.

"Nona, beta pulang dulu. Beta punya anak lagi sakit di rumah. Tak ada yang urus."

Suara alto Sonia mengejutkanku. Aku mengangguk, mempersilakannya pulang. Dia tersenyum dan bersiap membuka pintu.

"Sonia, tunggu!"

Aku lari ke dapur. Kuaduk-aduk kitchen set. Kukeluarkan beberapa kaleng susu, sebungkus roti tawar, dan stoples kecil berisi selai kacang. Benda-benda itu kuserahkan ke tangan Sonia.

"Buat anak kamu. Semoga cepat sembuh."

Sepotong pelajaran Ayah bergumpal di hatiku. Tiap Jumat pagi, aku memperhatikan Ayah memasakkan banyak makanan untuk anak jalanan. Kali ini, biarkan aku meniru sifat baiknya.

**    

Aku naik ke kamar Ayah. Kurebahkan tubuh di ranjang king size berseprai putih. Pandanganku membentur layar hitam TV plasma. Tak tergerak niatku untuk menonton TV.

Entah mengapa, malam ini aku ingin tidur di kamar Ayah. Absennya Ayah ternyata mengosongkan rongga dadaku. Tadi setelah shalat Isya, aku curhat pada Frater Gabriel via e-mail. Namun, e-mailku tak dibalas.

Ya, Allah, aku kesepian. Biasanya, Ayah tidur di ranjang ini. Ayah memilih tidur lebih awal dan bangun di sepertiga malam. Waktu tidur Ayah lebih panjang dariku dan Papa.

Kalau aku terbangun karena bermimpi buruk, aku akan lari ke kamar Ayah. Dia akan memelukku, membawaku tidur bersamanya. Ayah membelai-belai punggungku sampai aku tertidur lagi.

Dinding pertahananku ambruk. Tanpa hadirnya Ayah, aku tak tenang. Aku terbiasa membuka pintu kamar dan mendapati Ayah tertidur masih memakai jasnya. Di malam berhujan ini, tak kutemukan lagi sosok Ayahku.

Langit marah. Hujan mengamuk. Petir berteriak-teriak seraya mengirimkan cahaya menyilaukan. Aku bergelung di tempat tidur Ayah.

Cairan hangat apa ini di pipiku? Ah, aku menangis. Aku takut petir. Jika Ayah di sini, dia pasti memelukku. Kalau Papa, mana sempat? Papa akan melontarkan segudang alasan tiap kali aku minta ditemani.

Tak bisa memejamkan mata, aku beringsut bangun. Kuhempaskan tubuh di kursi piano. Kumainkan piano sambil bernyanyi.

Kelak kau kan menjalani hidupmu sendiri

Melukai kenangan yang telah kita lalui

Kau akan terbang jauh menembus awan

Memulai kisah baru tanpa diriku

Seandainya kau tahu

Ku tak ingin kau pergi

Meninggalkan ku sendiri bersama bayanganmu

Seandainya kau tahu

Aku kan selalu cinta

Jangan kaulupakan kenangan kita selama ini

Kelak kau kan menjalani hidupmu sendiri

Melukai kenangan yang telah kita lalui

Kau akan terbang jauh menembus awan

Memulai kisah baru tanpa diriku

Seandainya kau tahu

Ku tak ingin kau pergi

Meninggalkanku sendiri bersama bayanganmu

Seandainya kau tahu

Aku kan selalu cinta

Jangan kaulupakan kenangan kita selama ini (Vierra-Seandainya).

Aku tak sanggup melanjutkan. Air mataku runtuh. Perabotan di sekelilingku seolah ikut menangis. Meja ramping berkaki panjang tersedu. TV, kulkas kecil, meja komputer, kursi putar, lemari besar, sofa empuk, dan perabot mewah lainnya di kamar bernuansa broken white ini terisak-isak.

**    

-Fragmen si kembar

Berbekal surat sakti yang ditandatangani Dokter Tian, Calvin meninggalkan rumah sakit. Pagi-pagi sekali ia hengkang dari bangunan putih itu.

Calvin menyetir sendiri. Ia nekat pulang ke rumah tanpa supir. Dingin sekali di dalam Jaguar hitamnya.

Pembuluh darah di hidung Calvin mengalami vaso kontraksi, lalu pecah. Tepat ketika ia memarkirkan mobil di garasi, cairan pekat mengalir dari hidungnya. Segera saja Calvin mengeluarkan beberapa lembar tissue.

Ia terperangah. Bukan ingus, tapi darah. Biarkan saja, tak ada yang boleh tahu.

Rona jingga kemerahan menyapu langit. Mentari bangun dengan cantik dari pembaringannya. Sinar pertama mentari pagi jatuh di lantai marmer, melukis bayangan panjang yang bergetar. Amukan hujan semalam terbayar dengan indahnya matahari terbit.

Calvin memulai pagi indah dengan membuatkan segelas susu hangat untuk Silvi. Dibawanya segelas susu hangat itu ke lantai atas. Di pertengahan tangga, Calvin terhenti sejenak untuk mengambil nafas. Penyakit ini merepotkan saja.

Kamar Silvi kosong. Bertanya-tanya dalam hati, Calvin mencari ke kamar lainnya. Keenam kamar yang lain telah ia inspeksi. Tinggal kamarnya yang belum dimasuki. Ragu-ragu diputarnya handel pintu.

Embun menetesi hati Calvin. Silvi tertidur di kamarnya sambil memeluk potret sang ayah. Terharu hatinya mendapati pemandangan itu.

"Selamat pagi, Sayangku." Calvin membungkuk, mencium kening putri kesayangannya.

Silvi terbangun. Ia menggeliat sejenak. Iris kebiruannya mengerjap begitu melihat Calvin. Dia berhambur ke pelukan pria berjas biru gelap itu. Belum pernah Silvi memeluk Calvin begitu erat. Walau tak berkata-kata, Calvin paham betapa Silvi menginginkan hadirnya.

"Diminum dulu susunya, Sayang. Ayah buatin untuk kamu." ujar Calvin lembut. Silvi menerima gelas besar itu, lalu mereguknya hingga tandas.

Baru beberapa menit mereka melepas rindu, sakit itu kembali menghujam. Calvin menghela napas dalam-dalam. Menahan diri agar tidak terbatuk di depan mutiara hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun