Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Lihatlah Lebih Dekat

22 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 22 Juli 2019   06:49 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lihatlah Lebih Dekat

Untuk kali kedua, Jose kecewa berat pada Ayah Calvin. Ayahnya benar-benar lemah. Satu pukkulan trauma saja sudah membuatnya jatuh. Kemanakah malaikat tampan bermata sipit yang tegar?

Ya, Jose tak ragu mengatakan Ayahnya lemah. Sedalam apa trauma yang dialaminya hingga Ayah Calvin selemah itu? Sakit bukan alasan untuk mengabaikan orang lain. Tak peduli sakit psikis maupun fisik.


Apa pun yang dikatakan orang-orang, Jose tetap menganggap Ayahnya lemah dan bodoh. Bodoh karena mau terjebak nostalgia selamanya. Hal ini sangat, sangat bukan Ayahnya.

Kekecewaan Jose berlabuh ke telinga Bunda Alea, Silvi, Paman Revan, dan Paman Adica. Reaksi mereka berbeda-beda. Yang paling menjengkelkan tentunya Paman Adica.

"Ya begitulah Ayahmu, anak nakal. Lemah dan bodoh. Lukanya tidak sembuh-sembuh. Sudah kubilang berulang kali." kata Paman Adica sewaktu Jose video call dengannya.

"Kejadiannya kan sudah lama sekali. Masa lukanya belum menutup sampai sekarang?" kilah Jose.

"Mr. Phlegm memang tidak bisa diandalkan. Kerjanya bikin anak kecewa saja. Aku heran, memangnya si Alea bahagia hidup bersama si Dahak?"

Menyesal Jose bercerita. Paman Adica mengambil kesempatan dalam kesempitan. Dia bisa memaki-maki Ayah Calvin sepuasnya.

"Sudahlah. Aku masuk ruang sidang dulu. Klienku menunggu. Bye." tutup Paman Adica singkat.

Anehnya, Ayah Calvin tak tersinggung dikata-katai sahabatnya sendiri. Dia tetap hangat dan lembut ketika Paman Adica meneleponnya. Hati Ayah Calvin terbuat dari apa ya?

"Hati Ayahmu itu lembut, Sayangku. Mudah luka. Gampang pedih kalau disakiti. Tapi...sangat, saaangat penyayang." Bunda Alea menanggapi dengan lembut.

Kali ini Jose sepakat. Banyak yang mengatakan Ayahnya lembut. Terlalu baik dan lembut.

"Wajar kalau Ayah tidak mudah melupakan traumanya. Jose tolong mengerti ya?"

Kalimat itu dianggap Bunda Alea sebagai finalisasi. Jose pun tak menemukan celah lagi. Jelas-jelas Bunda Alea membela suami tercintanya.

Curhat pada Silvi sama saja. Dia malah ikutan sedih. Mata birunya berkaca-kaca.

Silvi terlalu sayang pada Ayah Calvin. Rasa sayang teramat besar membuatnya tak terpengaruh ketika Jose menceritakan sisi negatif Ayahnya. Fanatisme buta, mungkin begitu istilah orang dewasa. Menyayangi dan bersikap subjektif.

"Aku juga bakal begitu kalau jadi Ayahmu, Gabriel." isaknya.

Alhasil, waktu Jose habis untuk menghapus air mata Silvi. Sepupunya ini memang auto melankolis.

Respon Paman Revan terasa lebih bijak. Pria berjas biru muda itu membawa Jose ke taman. Diperlihatkannya bunga tulip yang tumbuh subur.

"Tulip banyak ditemukan di Eropa. Di sini agak susah menanamnya," papar Paman Revan, tak ada hubungannya dengan pertanyaan Jose.

"Jose tahu siapa yang bikin tulip di rumah ini subur?"

"Nggak. Siapa memangnya?"

"Ayahmu, Nak. Ayah Calvin mengajari Paman Revan cara menanam tulip di daerah tropis."

"Ok. Terus apa hubungannya sama pertanyaanku?"

Paman Revan tertawa kecil. "Ah, kamu tidak sabaran. Ayah Calvin memberi apa yang Paman Revan butuhkan. Ayah Calvin tahu cara menanam tulip, ilmunya dia berikan. Tapi, kalau Paman Revan minta yayasan dan sekolah itu, jelas Ayah Calvin tidak akan memberikannya. Jose, orang yang mencintaimu tidak akan memenuhi semua permintaanmu. Dia akan memenuhi kebutuhanmu. Bedakan antara butuh dan ingin, ok?"

Nah, bagaimana dengan gereja itu? Jose menahan desakan untuk bertanya. Bukankah Steven dan umat Katolik lainnya butuh tempat ibadah? Salahkah bila Jose menginginkan Ayahnya ikut membantu?

"Orang yang mencintaimu bukanlah orang yang menuruti semua keinginanmu. Tak selamanya orang yang mencintaimu membuatmu bahagia. Orang yang mencintaimu tidak akan bisa 24 jam sehari dan 365 hari dalam setahun mendampingimu. Tapi dia akan selalu jadi penopang saat kau butuh sandaran, dia orang pertama yang menghapus air matamu, dia akan berdiri paling depan untuk membelamu, dan dia melakukan yang terbaik sesuai kemampuannya untukmu."

Kata-kata Paman Revan meresap lembut ke hati Jose. Tangan kokoh Paman Revan menepuk puncak kepalanya. Dimintanya Jose mengingat-ingat semua yang telah dilakukan Ayah Calvin.

Tentu saja Jose ingat semuanya. Sebagian besar waktu Ayah Calvin dihabiskan untuknya. Malam-malamnya jadi lebih indah karena Ayah Calvin selalu menemani. Ayah Calvinlah yang membacakannya buku, membantunya menulis, menyelimutinya, berdiri di sampingnya selama terapi, mengompresnya ketika ia demam, memasakkan makanan Oriental, membuatkannya susu hangat kala ia kedinginan, memeluknya erat dalam deraan kesedihan, dan mencium keningnya penuh kasih. Apakah semua itu masih kurang?

"Ayah Calvin bukannya nggak sayang sama kamu. Dia belum sanggup memenuhi permintaanmu..." ucap Paman Revan meyakinkan.

Kepala Jose tertunduk. Terus dicobanya melihat Ayah Calvin lebih dekat. Melihat Ayah Calvin dari sisi lainnya yang terbaik.

Dari dalam rumah, terdengar denting piano. Disusul suara Silvi menyanyikan lagu.

Hatiku sedih

Hatiku gundah

Tak ingin pergi berpisah

Hatiku bertanya

Hatiku curiga

Mungkinkah kutemui kebahagiaan seperti di sini

Sahabat yang selalu ada

Dalam suka dan duka

Sahabat yang selalu ada

Dalam suka dan duka

Tempat yang nyaman

Kala ku terjaga

Dalam tidurku yang lelap

Janganlah sedih

Janganlah resah

Jangan berlalu

Cepat berprasangka

Pergilah sedih

Pergilah resah

Lihat segalanya lebih dekat

Dan kau bisa menilai lebih bijaksana

Mengapa bintang bersinar

Mengapa air mengalir

Mengapa dunia berputar

Lihat segalanya lebih dekat

Dan kau akan mengerti (Sherina-Lihatlah Lebih Dekat).

**   

Rona jingga menutup kaki langit sebelah timur. Berkas-berkas merah keemasan berkobar bagai nyala api, sinar pertama pertanda sunrise telah menyapa. Pagi menyuntikkan semangat baru.

Seharusnya begitu. Tetapi tidak dengan Ayah Calvin. Batinnya ditekan kecemasan. Dua belas jam berlalu sejak Jose kabur ke rumah Paman Revan.

Bukan, jangan sangka ini soal ketidakpercayaan. Ayah Calvin mempercayai Paman Revan 95%. Hanya rindu yang bicara. Menguasai alam pikiran, mendesaknya untuk segera menjumpai Jose.

Memangnya Jose saja yang tersiksa bila tak ada Ayahnya? Ayah Calvin dihantam rasa yang sama. Rindunya membengkak, terus membengkak.

Bunda Alea tercabik rindu pula. Namun pikirannya tetap positif. Biarlah, biarlah Jose di sana sementara proses melebur kekecewaan berlangsung. Mungkin Jose perlu sehari tanpa Ayah Calvin.

Betapa kelirunya dia.

Sesungguhnya, anak dan ayah itu sulit sekali dipisahkan. Benang merah di hati mereka selalu menuntut ingin bertaut. Mereka menjerit, meronta, dan memberontak ingin ditautkan dengan benang pasangannya.

Ketika rontaan benang-benang cinta itu terus menghimpit, Ayah Calvin tak tahan lagi. Perlahan ia bangkit dari tempat tidurnya. Disambuti tatapan cemas Bunda Alea.

"Calvin, kau mau kemana?" sergahnya.

"Aku mau ke rumah Revan. Anakku ada di sana." lirih Ayah Calvin.

"Anak kita, Calvin." ralat Bunda Alea jengah.

"Aku ikut ya."

Ayah Calvin menggeleng. "Nope. Kau harus tidur, semalaman kau menjagaku."

Suhu 39 C yang menghangati tubuh suaminya membuat waktu tidur Bunda Alea terkuras. Dalam kondisi setengah sadar, sering kali Ayah Calvin menyebut nama Jose. 

Nyaris saja Bunda Alea nekat melarikan Ayah Calvin ke rumah sakit, tetapi ditentang habis-habisan oleh si pemilik raga. Terselip kecurigaan di dasar hati Bunda Alea. Ayah Calvin menghindari rumah sakit.

"Kau yakin tidak ingin ditemani?" Bunda Alea meragu, matanya berkilau cemas.

Sebagai jawaban, Ayah Calvin mengenakan jas yang terdekat dari jangkauan tangannya. Bunda Alea cemas sekali memandangi gerakan tubuh yang melemah, helaan nafas yang memberat, dan rona wajah yang pucat.

"Tak perlu menatapku seperti itu, Alea."

Ayah Calvin terbatuk. Darah segar mengalir. Bunda Alea lembut menyekanya.

"Stonehead," kecamnya pelan, suaranya bergetar.

Lima menit berikutnya, Bunda Alea terbaring sendirian di kamar utama. Tak berdaya mencegah suaminya pergi. Dia hanya mampu mendaraskan doa. Allah akan menjaga belahan jiwanya.

Kerinduan pada anak semata wayang menguatkan Ayah Calvin. Langkahnya terasa ringan menyusuri kompleks perumahan elite. Sunyi menebar di sudut-sudut kompleks. Rindu yang menggelayuti hatinya tak lama lagi akan pecah.

Tak terasa, kakinya membawanya keluar area kompleks. Siluet tiga rumah ibadah berpelukan mesra dilatarbelakangi langit pagi. Masjid hijau dengan menaranya yang gagah, merangkul erat vihara bergaya oriental, dan mendekap gereja bercat biru laut dengan lonceng besarnya. Tiga rumah Tuhan itu berpelukan erat tanpa terbatas sekat. Ayah Calvin memandang sedih ke arah gereja.

Rumah Paman Revan tak jauh lagi. Letaknya persis di belakang vihara. Walaupun posisinya agak ke dalam, rumah itu tak kehilangan kemewahannya. Semangat Ayah Calvin bangkit mengalahkan rasa sakitnya. Tinggal sedikit lagi.

Di kanan-kiri tiga tempat ibadah, terlihat para pedagang makanan menggelar jualannya. Beberapa pemulung, pengamen, dan anak jalanan beristirahat di bawah tenda-tenda pedagang. Peduli amat dengan aparat ketertiban, peduli amat dengan fakta pemandangan tidak indah. Hidup sudah terlalu keras.

Seorang anak lelaki berkaus hitam dan berambut berantakan menurunkan tampah berisi kue dari kepalanya. Anak itu berjualan di dekat bahu jalan. Tanpa lapak, tanpa tenda, tanpa pelindung. Perjuangannya jauh lebih keras dibanding para pedagang tadi. Jika Rupiah demi Rupiah berhasil memenuhi sakunya, anak itulah pemenang sejati.

Terbersit sesal di hati Ayah Calvin. Tak terpikir olehnya untuk membawa kamera. Andai saja benda hitam itu ada di sakunya, dia bisa mengambil potret-potret jujur bertema human interest. Layak dijadikan bahan tulisan. Mungkin semacam feature. Naluri blogger tidak kompatibel dengan kondisi tubuhnya.

Langkah kakinya melambat. Jalanan yang dipijaknya berputar cepat. Rasa sakit serasa ditumpahkan berlarat-larat. Ayah Calvin merasakan hidungnya mengalirkan cairan merah pekat.

Tubuh itu, tubuh yang rapuh dan menunggu waktu, jatuh mencium aspal. Ayah Calvin jatuh pingsan. Anak penjual kue itulah yang melihatnya.  Ia tinggalkan dagangannya begitu saja, lalu berlari mencari bantuan. Tubuhnya yang kecil kurus riskan mengangkat tubuh Ayah Calvin.

Lelaki-lelaki kekar berwajah berminyak mengangkat tubuh Ayah Calvin. Anak penjual kue lekat mengiringi langkah mereka. Nada-nada kecemasan terdengar. Semua orang yang merasa bagian dari kaum marginal itu mengenal Ayahnya Jose. Calvin Wan, figur pria tampan dan kaya, sering mengucurkan uang pribadinya untuk menolong mereka.

Sementara itu, di kamar tidurnya, Bunda Alea dirasuki kekhawatiran. Firasatnya tak enak. Bayang-bayang suaminya melangkah sendirian dengan wajah pucat dan hidung darah mengacaukan perasaan.

Bunda Alea berbaring dengan mata terbuka lebar. Anjuran suaminya untuk mengistirahatkan otak lesap dari prioritas. Dia takkan tidur sebelum suaminya kembali.

Tenggelam dalam ketakutan, Bunda Alea tak mendengar dering bel pintu di bawah sana. Barulah perhatiannya teralih ketika seorang pelayan menghambur masuk ke kamarnya.

"Nyonya...Nyonya," engah si pelayan wanita dengan rambut digelung hitam mengilap.

"Tuan pingsan. Steven membawanya ke sini."

Jantung Bunda Alea serasa melompat meninggalkan dadanya. Tergesa dia menuruni tangga. Lututnya lemas seketika melihat Ayah Calvin dengan wajah pias dan jas bernoda darah.

"Calvin...Calvin, oh apa yang terjadi?" ujarnya panik.

Patah-patah mereka menjelaskan. Bunda Alea berterima kasih sekali. Entah apa yang terjadi bila Steven dan teman-temannya tak turun tangan.

"Maaf ya...pekerjaan kalian jadi terbengkalai." Bunda Alea meminta maaf. Ia kembali menemui mereka setelah menelepon Dokter Tian.

"Tidak apa-apa, Bunda Alea. Ayah Calvin sudah sering bantu kami...anggap saja balas budi. Walau tak seberapa." timpal Steven.

"Bagaimana kalau saya beli semua kuemu, Steven? Dimana kamu tinggalkan tampahmu?" tawar Bunda Alea.

Mata Steven berbinar bahagia. Cepat-cepat dia berlari mengambil dagangan kuenya.

Fokus perhatian Bunda Alea kembali tertuju pada Ayah Calvin. Tepat ketika Steven pamit, Ayah Calvin terbangun.

"Jose..." erangnya, pedih.

"Alea, itu Jose kan?"

"Bukan, Sayang. Itu Steven. Dia yang membawamu ke sini. Nanti kita jemput Jose sama-sama ya." Bunda Alea berbisik menenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun