Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gumpalan Darah di Tubuh Ayahku

29 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 29 Mei 2019   06:21 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gumpalan Darah Di Tubuh Ayahku

"Lagu ini untuk Ayahku tercinta." kata Jose tulus, tulus sekali.


Seisi ballroom terhanyut, mendengarkan. Obrolan-obrolan terhenti. Semua mata tertuju ke panggung. Di balik piano, Ayah Calvin tersentuh. Namun ekspresi wajahnya tetap tenang.

Intro usai. Jose bernyanyi sepenuh hati.

Menatap indahnya senyuman di wajahmu

Membuatku terdiam dan terpaku

Mengerti hadirnya cinta terindah

Saat kaupeluk mesra tubuhku

Banyak kata yang tak mampu kuungkapkan kepada dirimu...

Aku ingin engkau selalu

Hadir dan temani aku

Di setiap langkah yang meyakiniku

Kau tercipta untukku...

Meski waktu akan mampu

Memanggil seluruh ragaku

Kuingin kau tahu

Ku selalu milikmu

Yang menyayangimu sepanjang hidupku...

Jose tak melepas kontak mata. Ia bahkan mengajak tamu undangan bernyanyi bersamanya. Suara anak itu bagus sekali. Improvisasinya keren.

Sekumpulan pria-wanita berbaju formal itu terpana. Mereka terhipnotis nada-nada indah yang dibawakan Jose. Tak tahukah mereka bila anak tunggal mantan kolega mereka menyanyi dalam keadaan kalut?

**   

Jose tak bisa tidur. Ia terus memikirkan acara keluarga yang diikutinya kemarin. Sebentuk keresahan berputar-putar di pikirannya.

"Kenapa, Sayang? Masih kepikiran arak itu, ya?"

Ayah Calvin memeluknya hangat. Pertanyaannya menggantung tanpa jawaban. Jose takut, takut mengingat acara kemarin malam.

Keluarga besar Ayahnya berkumpul di mansion utama. Mereka makan malam bersama. Cerita demi cerita, rangkaian rutinitas, dan ungkapan tentang pekerjaan yang berbaris terurai di meja makan. Jose hanya jadi pendengar. Ia anggota keluarga terkecil. Sepupu-sepupunya sudah dewasa.

Tatapan tak suka dilayangkan pada Jose. Sebutan "darah campuran" masih terlontar. Tapi bukan itu, sungguh bukan itu.

Usai makan malam, anggota keluarga yang tertua membuka beberapa botol arak. Hampir semua anggota keluarga bersorak kegirangan. Dalam sekejap, gelas-gelas terisi penuh.

Eits, tidak semuanya. Jose masih kecil, tapi dia tahu mana yang boleh dan mana yang tidak. Saat itulah ketakutan dan kesepian mencengkeram hatinya.

Bukannya Jose membenci perbedaan. Ia hanya takut, takut dan merasa terasing. Jose merasa sepi dalam keramaian. Jose kesepian dan terasing. Terasing di lingkaran keluarga besar Ayahnya. Keterasingan yang sama.

"Jangan dipikirkan, Jose. Lupakan saja."

Suara lembut Ayah Calvin menyadarkannya. Jose tersentak. Mudahkah melupakannya? Tidak.

"Ayah...Jose beda sama keluarga Ayah. Ayah mau tinggalin Jose..." lirihnya.

"Memang beda. Siapa bilang Ayah mau tinggalin Jose?" balas Ayah Calvin, membelai-belai rambut anak semata wayangnya.

"Ayah...Jose takut sama minuman itu."

"Jangan dipikirkan, Sayang...jangan dipikirkan ya."

"Mereka juga nawarin Ayah. Mereka mau ambil Ayah."

Kesedihan terukir dalam di wajah Jose. Dekapan Ayah Calvin bertambah erat. Dapat dipahaminya betapa sepi dan terasingnya Jose Gabriel Calvin.

"Ayah kan nggak minum itu...sama kayak Jose. Kita akan selalu bersama, Sayang."

Sesaat hening. Jose tak mudah diyakinkan. Meski begitu, ia mencoba mempercayai Ayahnya.

Pelan-pelan Ayah Calvin melepas pelukannya. Ia lirik jam di atas nakas. Tepat pukul tiga pagi.

"Ayah ke bawah sebentar ya." pamitnya hati-hati.

Refleks tangan Jose menarik-narik jas Ayahnya. Ia tak mau ditinggal. Sesabar mungkin, Ayah Calvin membujuknya. Akhirnya anak itu terbujuk juga.

iPhone Ayah Calvin tertinggal di pinggir ranjang. Jose mengambilnya. Ayah Calvin mengizinkan Jose memainkan smartphonenya. Di handphone cantik berlogo apel tergigit itu, tak ada aplikasi sensitif. Hanya ada foto, beberapa dokumen, sejumlah video, dan game yang biasa dimainkan Jose.

Tengah asyik main game, benda silver itu bergetar. Ada e-mail. Tak sengaja Jose membacanya.

"Ayah, ada undangan dari grup pewara." Jose memberi tahu ketika Ayah Calvin kembali ke sisinya.

Wajah Ayah Calvin berubah suram. Dibacanya e-mail itu. Seminggu sebelum hari raya, masih ada grup yang repot-repot mengadakan acara itu. Tapi, bukan acaranya yang membuat Ayah Calvin sedih. Ingatannya melayang ke studio itu, kamera-kamera itu, teks berita itu, dan jadwal liputan itu. Ah, rasanya sudah lama sekali.

"Ayah datang kan?" pinta Jose penuh harap.

Melihat wajah innocent Jose, Ayah Calvin tak bisa menolak. Setelah kejadian kemarin, mana mungkin ia membuat anaknya bersedih lagi?

**    

Acara itu berlangsung di lantai delapan sebuah hotel five-star. Mantan pewara, maupun yang masih aktif di dalam, berbagi meja dan cerita. Tak ada sekat pemisah.

Jose jadi tahu banyak tentang Ayahnya. Ayah Calvin punya kualifikasi dan bakat ke arah situ. Suara sang ayah bagus, karakter suara yang dicari-cari produser program berita. Paras tampan membuat Ayah Calvin dilirik mereka.

"Calvin, Calvin sini!" Sesosok pria berjas dark brown menarik tangan Ayah Calvin. Mengajaknya bergabung di meja yang sama.

"Kami baru saja membicarakanmu."

Raut wajah Ayah Calvin kaget dan salah tingkah. Mantan-mantan koleganya kembali gaduh.

"Ingat nggak waktu audisi news anchor? Kita duduk bareng...trus kamu nenangin aku."

"Calvin, ada sainganmu yang gemes banget pengen ngalahin kamu. Tapi dia nggak lolos juga. Aku ingat dia begini."

Si pria berjas coklat memasang ekspresi terluka. Jose memutar tubuh, memperhatikan dengan geli bercampur kagum.

"Aku ingin lolos, tapi yang diterima malah cowok tinggi sok kecakepan yang dianterin Papanya itu!"

Meja pecah oleh tawa. Kenangan itu sudah lama sekali.

"Jadi, aku sok kecakepan ya?" tanya Ayah Calvin setelah mereka berhenti.

"Nggak tuh. Itu kan kata rivalmu. Lagian...kamu beda sendiri. Kamu satu-satunya peserta audisi yang diantar ortu."

Seorang wanita berambut panjang dengan setelan formal berwarna hitam menimpali. "Mungkin karena waktu itu Calvin masih 19 tahun. Anak tunggal lagi."

"Kamu hebat ya. Sekali ikut audisi, langsung lolos. Dasar berbakat..."

Kenangan-kenangan indah terus dibongkar. Masa itu sungguh manis. Masa ketika mereka dikenal karena suara bagus, wajah rupawan, dan bakat public speaking di atas rata-rata.

Tapi itu dulu...

Semuanya berubah sejak...

"Sayang ya, kamu keluar duluan. Padahal karier kamu naik terus. Lama-lama kamu bisa punya program sendiri." Sang pria berjas coklat menepuk pelan punggung Ayah Calvin.

Ayah Calvin tertunduk. Ia enggan mengingatnya lagi.

"Kalo aja kamu nggak kecapekan abis acara itu...terus nggak kena radang tenggorokan...trus dokter nggak kasih kamu obat pengencer darah."

"Tapi...kalau kamu nggak sakit, kamu mungkin ggak akan tahu, Calvin."

Wajah-wajah resah menyeruak. Senyuman memudar. Meja itu dikuasai sisa kemuraman masa lalu.

"Obat pengencer darah?" ulang Jose, menatap tajam mantan kolega Ayahnya.

"Ah...anak ganteng, anak pintar, kamu mirip Ayahmu. Sangat peduli, observant juga. Ayahmu sakit Sindroma Hughes, pengentalan darah."

Prang!

Gelas jus strawberry di tangannya jatuh, lalu pecah. Wajah Jose pucat dan tegang. Ayah Calvin memandang marah mantan teman seprofesinya.

Jose bangkit terburu-buru. Ia lari keluar ballroom. Ayah Calvin mengejarnya. Seisi meja berteriak menyalahkan si pria berjas coklat.

Di luar ballroom, Ayah Calvin kesulitan mengejar Jose. Larinya cepat sekali. Anak yang tanggal lahirnya sama dengan Ayahnya itu hampir sampai di lift.

"Jose...tunggu, Sayang. Ayah bisa jelaskan." Ayah Calvin memohon di sela helaan nafasnya yang mulai melemah.

Hughes laknat. Ia buat dada Ayah Calvin sesak. Ia buat singgle dad itu cepat lelah.

"Ayah jahat! Ayah nggak pernah cerita sama Jose! Jadi, itu obat-obatan pengencer darah?!" teriak Jose, sedih dan kecewa.

Pemuda cilik kelahiran 9 Desember itu sedih dan cemas. Dia cemas luar biasa. Mengapa harus ada gumpalan-gumpalan darah di tubuh Ayah Calvin? Mengapa harus Ayahnya? Ayah Calvin, ayah yang lebih mirip malaikat, sakit bertahun-tahun dan harus minum obat setiap hari untuk mengontrol darahnya? Ini tidak adil. Ini menyakitkan.

Sebelum Jose lebih marah lagi, Ayah Calvin memeluknya. Pelukan itu formula paling menenangkan. Ayah Calvin mencium kening anak tunggalnya.

"Tidak seburuk itu, Sayang. Kelainan dalam tubuh bukan petaka. Kita hanya perlu menyesuaikannya. Ayah coba berteman dengan Hughes." ujar Ayah Calvin lembut.

Berteman dengan penyakit? Memangnya bisa? Tapi Jose diam saja. Tanya di hatinya tidak dia ungkapkan.

"Kita bisa menjadikan penyakit sebagai teman. Asalkan damai dan tidak mencari masalah. Selama berteman dengan Hughes, Ayah selalu ada buat Jose, kan? Ayah masih bisa bacain buku, bantu Jose nulis, temenin Jose pas ada acara, dan macam-macam lagi kan? Nggak ada yang berubah kan?"

Benarkah semudah itu? Well, nothing impossible. Garis takdir dan kekuatan cinta kasih membuat Ayah Calvin bertahan.

**   

Tulisan cantik, dari Young Lady cantik bermata biru

Mencoret-coret kesedihan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun