"Buat apa berbagi kesedihan? Rasa sakit bukan untuk dibagi-bagi."
"Iya. Tapi, jangan sampai melewatkan sesi terapimu juga. Jadinya kan begini."
Mereka tiba di rumah sakit. Tim dokter terbaik bersiaga seperti biasa. Enaknya jadi orang kaya. Semuanya telah tersedia, tak perlu repot-repot menunggu sejak hari masih muda.
Dulu, Ayah Calvin sering menyemangati Andrio ketika menjalankan terapi ini. Rasanya seperti diinfus. Obat dimasukkan lewat jarum. Begitu saja.
Tapi...
Kini ia rasakan sendiri. Biasanya, pria Desember itu menjalani terapinya sendiri. Tiada satu pun yang menemani. Hanya Tuhan yang menyaksikan dan membelai dengan tangan lembutNya.
Siang ini berbeda. Si pemilik mata biru yang teduh menemaninya. Mata biru Paman Revan, mengingatkan Ayah Calvin pada Bundanya Jose.
"Kau tahu ini tanggal berapa, Revan?" tanya Ayah Calvin.
"Tanggal 27. Kenapa?"
"Anniversaryku dengan sepupumu. Aku melamarnya secara implisit di tahun kedua kebersamaan kami."
Seulas senyum menghiasi wajah Paman Revan. "Mengajaknya tinggal di Bali itu kausebut lamaran terselubung di tahun kedua? Astaga...Calvin."