"Sudah, Sayang." jawab Ayah Calvin tenang.
Ayah Calvin menebus waktunya yang hilang bersama Jose. Dibelikannya banyak makanan untuk anak tunggalnya. Sesekali mobil menepi. Saat itulah Ayah Calvin menyuapi Jose dengan potongan sandwich, pai susu, siomay, dan tart karamel.
Setengah jam kemudian, mereka sampai di sebuah kompleks sekolah. Sekolahnya bagus. Tapi masih lebih besar sekolah di yayasan milik Ayah Calvin.
"Van Lith..." Jose membaca tulisan di gerbang utama.
"Dulu Ayah sekolah di sini." Ayah Calvin mulai bercerita.
Mereka berjalan-jalan mengitari kompleks sekolah. Ayah Calvin menceritakan kebandelannya waktu kecil. Belajar di detik-detik terakhir sebelum ulangan, banyak main kelereng, main sepeda, dan main gundu. Diam-diam kabur setelah pulang sekolah untuk menyewa buku.
"Ayah suka pinjam buku? Kan Ayah punya banyak uang...bisa beli." tukas Jose tak percaya.
"Iya sih...tapi asyik aja. Sama kayak teman-teman lain."
Sesaat wajah Ayah Calvin kembali muram. Ia tak selamanya senang terus di sekolah. Dulu, Ayah Calvin menolak diantar Opa Effendi dengan mobil mewah. Tak mau juga diantar supir. Ia pulang-pergi sekolah dengan jalan kaki atau naik sepeda. Dalam perjalanan ke sekolah, sejumlah anak dari sekolah negeri meneriakinya.
"Cina lo!"
"Gendut lo!"