Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah, Kita Orang Indonesia Kan?

13 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 13 Mei 2019   06:04 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture by Kanenori (Pixabay)

Ayah, Kita Orang Indonesia Kan?


Jose benci tanggal 13 Mei. Tiap tanggal 13 Mei, Ayah Calvin selalu sakit. Ayah Calvin akan menyendiri selama berjam-jam. Tak mau diganggu. Rasanya Ayah Calvin jauuuuh sekali.

13 Mei jadi hari terburuk buat Jose. Jangan harap dia bakal dipeluk Ayahnya. Ayah Calvin takkan mencium keningnya, membacakannya buku, membantunya menulis, menyuapinya, dan memilihkan pakaiannya di hari itu. 

Seperti ada dua dunia saat tanggal 13 Mei tiba. Satu dunia tanpa Ayahnya, satu lagi dunia dengan Ayah Calvin di dalamnya.

Perubahan Ayah Calvin membuat Jose bersedih. Ia merasa akan kehilangan Ayah Calvin selamanya. Mengapa Ayahnya yang tegar dan penuh energi positif jadi begitu?

Tapi...hanya di tanggal 13 Mei saja Ayah Calvin berubah. Hari-hari berikutnya, ia kembali lembut dan sabar seperti biasa. Tetap saja Jose tak suka.

Bukan hanya Jose, Paman Revan dan Paman Adica sama sedihnya. 13 Mei tahun lalu, mereka memaksa menemui Ayah Calvin. Paman Revan marah-marah. Itu kali pertama Jose melihat paman Manado Borgonya ngamuk. Kalau Paman Adica sih, sudah biasa. Begitu marahnya Paman Revan, sampai-sampai logat Minahasanya keluar.

"Jaga itu ngana punya bodi!" gertaknya waktu itu.

"Kita juga minoritas, tapi kita tak sebodoh ngana!" kata Paman Revan lagi, seraya menunjuk mata birunya.

Ayah Calvin hanya diam. Jose tak mengerti arti kata minoritas. Rasanya seperti sesuatu yang asing. Ah, entahlah.

Lain lagi Paman Adica. Gayanya yang to the point memang bikin orang lain geregetan.

"Kamu bodoh sekali, Dahak. Sudah bodoh, penyakitan lagi. Kapan sembuhnya itu luka?"

Masih diam, Ayah Calvin tetap diam. Kemarahan dua sahabatnya seakan tak berpengaruh.

Tahun ini beda. Tak ada Paman Revan dan Paman Adica yang menegur Ayahnya. Jose sendirian, benar-benar sendiri.

Sedihnya, 13 Mei tahun ini jatuh di bulan mulia. Makin suram saja. Sejak sepertiga malam, Jose sedih sekali. Ia menolak saat diambilkan makan oleh tiga pengasuhnya.

Ketiga pengasuh itu seperti makan gaji buta. Mereka hanya menjaga Jose saat Ayah Calvin tak ada. Nyatanya, Jose hampir setiap waktu bersama sang ayah. Tapi tak apa. Ayah Calvin lebih dari sanggup membayar mereka.

"Tuan muda, ayo makan..." bujuk pengasuh termuda.

Jose menggeleng. Mendorong jauh-jauh piring berisi tom yamnya.

"Nggak mau! Jose mau makan kalo disuapin Ayah!" tolaknya.

"Tuan Calvin kan lagi sakit...nggak bisa dong, kalo harus suapin Tuan muda." Jelas pengasuh tertua.

"Ya udah! Jose nggak mau makan!"

Biar saja, biar ia tak makan. Jose paling benci dilarang. Ia hanya butuh Ayah Calvin di sampingnya.

Jose naik ke lantai dua. Ketiga pengasuh geleng-geleng kepala. Mereka kehabisan akal menghadapi anak majikan super keras kepala.

Tiba di lantai atas, Jose bermain piano. Hatinya sedih luar biasa. Mengapa Ayah Calvin sakit lagi? Mengapa Ayah Calvin menyendiri lagi? Ada apa dengan tanggal 13 Mei?

"Ayah...Jose kangen. Jose nggak mau ditinggal-tinggal Ayah kayak gini." rintihnya.

Intro dimainkan. Usai intro, Jose bernyanyi.

Aku ingin engkau ada di sini

Menemaniku saat sepi

Menenaniku saat gundah

Berat hidup ini tanpa dirimu

Ku hanya mencintai kamu

Ku hanya memiliki kamu

Aku rindu setengah mati kepadamu

Sungguh kuingin kau tahu

Aku rindu setengah mati

Meski telah lam kita tak bertemu

Ku selalu memimpikan kamu

Ku tak bisa hidup tanpamu

Aku rindu setengah mati kepadamu

Sungguh kuingin kau tahu

Aku rindu setengah mati

Aku rindu

Setengah mati

Aku rindu setengah mati kepadamu

Sungguh kuingin kau tahu

Ku tak bisa hidup tanpamu

Aku rindu setengah mati kepadamu

Sungguh kuingin kau tahu

Aku rindu...

Masih segar dalam ingatan Jose. Malam tanggal 12 Mei, Ayah Calvin menemaninya tidur seperti biasa. Sebelum tidur, Jose menunjukkan sebuah komik.

"Ayah, baca ini deh. Gambarnya bagus." ujar Jose, menyerahkan komik itu.

"Kamu dapat darimana, Sayang?" tanya Ayah Calvin.

"Dari Hito setahun lalu. Aku masih simpan. Pasti Ayah suka."

Ayah Calvin membukanya. Sedetik. Tiga detik. Lima detik...

Prak!

Buku mungil itu meluncur lepas. Ayah Calvin menjatuhkannya. Wajahnya pucat pasi.

"Ayah...Ayah kenapa?" Jose melompat bangun, memungut novel grafis itu.

Ayah Calvin mencengkeram dadanya. Ekspresi kesakitan terlintas di wajahnya yang tampan. Samar Jose melihat bibir Ayahnya bergerak pelan merapal asma-asma Allah.

"Ayah kenapa? Aku salah ya?" tanya Jose.

"Maaf, Sayang. Ayah nggak mau baca itu. Luka...luka lama."

Ada apa ini? Aneh sekali. Biasanya, Ayah Calvin mau membaca apa pun tulisan pemberian Jose.

Jose kembali berbaring di ranjang empuknya.Pelan membolak-balik komik itu. Judulnya Chinese Whispers. Ayah Calvin tahu apa isi komik itu. Ia yakin Jose belum mengerti. Anak-anak seperti Jose dan Hito tertarik dengan gambarnya.

Sepanjang sisa malam itu, Ayah Calvin tetap lembut. Dia tak memarahi Jose. Bahkan Ayah Calvin masih mencium kening Jose sebelum tidur. Sungguh, tak ada yang berubah.

Tapi hari ini...

Ah, cepat sekali berubah.

**   

Hangat. Tangan, kaki, dan sekujur tubuhnya makin hangat. Demam tinggi menyerangnya.

Sesak. Dada ini serasa sesak. Ayah Calvin sulit bernafas menahankan beban luka lama.

Ia berbaring terlentang di ranjang king sizenya. Satu tangannya mengetikkan sesuatu di iPadnya. Menulis, terapi jiwa paling ampuh yang ia lakoni.

Bukan, bukannya Ayah Calvin tak mau menghabiskan waktu bersama Jose. Ia hanya ingin sendiri. Tanggal 13 Mei masih terlalu berat untuk dihadapi.

21 tahun berlalu. Namun, Ayah Calvin masih merasakan kesakitan. Betapa buruknya kenangan. Membuat luka, menciptakan goresan kepedihan abadi.

Sakit itu masih sama. Perih itu tetap membekas. Tapi, bagi Ayah Calvin, bukan waktunya lagi untuk takut. Saat untuk takut sudah lewat.

Tulisannya selesai. Blognya dimuati artikel baru. Ayah Calvin terlelap.

Antara tidur dan terjaga, Ayah Calvin merasakan Jose berbaring di sampingnya. Anak itu pasti masuk lewat balkon. Jelas-jelas pintu kamarnya dikunci.

Jose memegang tangannya. Pelan tetapi jelas, anak membanggakan itu berbisik.

"Ayah...cepat sembuh ya. Tadi Jose liat bercak-bercak darah di kamar mandi. Jose sedih kalau Ayah kayak gini terus. Mendingan Jose aja yang sakit."

Hening. Ayah Calvin terenyak. Hatinya semakin pedih.

"Ayah itu beda, Ayah itu spesial. Jose nggak punya Bunda. Andrio, Livio, sama Hito udah pergi. Jose cuma punya Ayah...kalau Ayah nggak ada, Jose sama siapa?" lanjut Jose, suaranya bergetar.

Perih, perih sekali. Jose sungguh-sungguh kesepian dan butuh dirinya. Lagi-lagi Jose membisikkan kalimat itu. Kalimat menggetarkan.

"Jose cinta Ayah Calvin Wan karena Allah..."

Mata Ayah Calvin berkaca-kaca. Ia bangun, lalu memeluk Jose erat.

**   

"Ayah...kenapa perginya nggak sama supir aja? Ayah kan masih sakit," Jose protes.

Ayah Calvin hanya tersenyum. Wajahnya masih pucat. Ia memaksakan diri menyetir mobil.

Mereka pergi saat senja. Jose lega Ayahnya telah kembali. Meski begitu, ia cemas.

"Ayah sudah minum obat?" tanya Jose penuh perhatian.

"Sudah, Sayang." jawab Ayah Calvin tenang.

Ayah Calvin menebus waktunya yang hilang bersama Jose. Dibelikannya banyak makanan untuk anak tunggalnya. Sesekali mobil menepi. Saat itulah Ayah Calvin menyuapi Jose dengan potongan sandwich, pai susu, siomay, dan tart karamel.

Setengah jam kemudian, mereka sampai di sebuah kompleks sekolah. Sekolahnya bagus. Tapi masih lebih besar sekolah di yayasan milik Ayah Calvin.

"Van Lith..." Jose membaca tulisan di gerbang utama.

"Dulu Ayah sekolah di sini." Ayah Calvin mulai bercerita.

Mereka berjalan-jalan mengitari kompleks sekolah. Ayah Calvin menceritakan kebandelannya waktu kecil. Belajar di detik-detik terakhir sebelum ulangan, banyak main kelereng, main sepeda, dan main gundu. Diam-diam kabur setelah pulang sekolah untuk menyewa buku.

"Ayah suka pinjam buku? Kan Ayah punya banyak uang...bisa beli." tukas Jose tak percaya.

"Iya sih...tapi asyik aja. Sama kayak teman-teman lain."

Sesaat wajah Ayah Calvin kembali muram. Ia tak selamanya senang terus di sekolah. Dulu, Ayah Calvin menolak diantar Opa Effendi dengan mobil mewah. Tak mau juga diantar supir. Ia pulang-pergi sekolah dengan jalan kaki atau naik sepeda. Dalam perjalanan ke sekolah, sejumlah anak dari sekolah negeri meneriakinya.

"Cina lo!"

"Gendut lo!"

Mendengar itu, Jose melipat dahi. Ia juga pernah disebut 'Cina' oleh nenek berkursi roda waktu karantina kontes menyanyi. Jose tak paham artinya. Setahunya, Cina atau China itu nama negara. Kalau ejekan yang kedua...

"Memangnya dulu Ayah kayak apa sih? Sampai dibully gitu..." selidik Jose.

Ayah Calvin tak menjawab. Ia malah balik kanan, berjalan masuk ke mobil. Jose mengejarnya. Dikiranya sang ayah akan pergi.

Laci dashboard dibuka. Sebuah foto dikeluarkan. Dalam foto itu, nampak seorang anak gendut berwajah pucat dan bermata sipit. Jose melotot kaget.

"Ayah, itu siapa?"

Ayah Calvin tertawa kecil. "Nah, kamu sendiri nggak kenal kan? Itu Ayah..."

Mata Jose membola. Benarkah? "Kenapa tubuh Ayah seperti itu?"

"Karena obat, Sayang. Ayah sakit..." sahut Ayah Calvin sabar.

"Tapi...tapi Andrio juga sakit. Andrio tetap ganteng kok."

"Nah, berarti Ayah jelek ya?"

Jose tak menjawab. Mana mungkin dia menyebut Ayahnya jelek?

"Makanya itu, Sayang. Ayah bersyukur kamu sudah tampan sejak lahir. Kamu sehat, dan tidak perlu seperti ini." tunjuk Ayah Calvin ke foto itu.

Ah, tidak juga. Jose terlahir tampan karena darah Ayah Calvin mengalir di tubuhnya.

Mereka melanjutkan perjalanan. Mobil terhenti di depan pusat pertokoan. Kata Ayah Calvin, dulunya ada supermarket di sini. Supermarket itu terbakar saat kerusuhan terjadi.

Saat menyebut kerusuhan, wajah Ayah Calvin makin pias. Dadanya sakit, sangat sakit. Ia terbatuk. Masih bisa dirasakannya asap itam membubung menyesakkan dada. 

Masih jelas tergambar bayangan orang-orang mengangkuti beras, kulkas dua pintu, televisi, buah-buahan, baju, dan perabotan. Supermarket dijarah, lalu dibakar. Seruan-seruan "bakar Cina!" "Bunuh Cina!" terus terngiang.

"Ayah, kita pulang aja ya. Ayah sakit lagi kayaknya..." pinta Jose pelan.

Mereka pulang. Tiba di rumah, Ayah Calvin memakaikan piyama pada Jose. Menidurkan anak itu di ranjang.

Seperti malam-malam sebelumnya, Jose kembali merasakan kehangatan Ayahnya sebelum tidur. Walau ia sedikit cemas ketika Ayah Calvin meninggalkannya sebentar. Samar didengarnya bunyi muntahan. Dia lihat noda darah memerciki jas hitam itu sewaktu Ayahnya kembali.

"Ayah..." panggil Jose hati-hati.

"Iya, Sayang?"

"Ayah, kita orang Indonesia, kan?"

"Iya. Kita orang Indonesia. Kita sama seperti lainnya."

"Kenapa orang-orang kayak kita mau dibunuh, Ayah?"

"Karena nggak mau hidup berdampingan, Sayang. Cuma kelompok mereka yang dianggap benar."

Rasa penasaran Jose terpuaskan. Hatinya terasa hangat. Ayahnya sudah kembali. Direngkuhnya Ayah Calvin erat sekali. Memeluk malaikat, begini rasanya. Apa pun keadaannya, Ayah Calvin tetaplah malaikat di mata Jose.

Jose pun tertidur dengan damai. Ayah Calvin mengecup keningnya, menyelimutinya dengan lembut.

"Selamat tidur, Sayang. Ayah sayang Jose karena Allah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun