Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[3 Pria, 3 Cinta, 3 Luka] Piano Putih, Mata Biru, dan Lapisan Es

20 Februari 2019   06:00 Diperbarui: 20 Februari 2019   06:19 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lautan kenangan menyerbu dadanya. Calvin merasa kembali menjadi anak kecil. Saat pertama kali audisi, saat lolos ke babak 16 besar, saat ia menjadi salah satu penyanyi cilik di ajang tallent show itu, saat Mamanya memeluknya erat setelah ia tereliminasi di posisi 8 besar. Masih terekam pujian para juri, presenter, dan sahabat-sahabatnya sesama finalis. Album yang digarapnya bersama para finalis tetap ia simpan. Dan...saat ia jadi korban praktik kolusi-nepotisme di panggung itu. Saat Calvin tergabung dalam grup musik bentukan para alumni ajang pencarian bakat itu. Semuanya berakhir menyakitkan.

Meski begitu, masih tersisa sepercik bangga. Calvin mampu tampil memesona melawan keterbatasan. Ia justru finalis paling tampan dengan fans terbanyak, melebihi finalis lainnya yang borjouis.

Masih ada aura seorang penyanyi cilik darinya, bisik hati kecil Abi Assegaf. Abi Assegaf beruntung dikelilingi artis dalam kehidupannya. Caregivernya mantan penyanyi cilik, anak tunggalnya violinis dan presenter.

"Calvin, apa kau tertarik kembali ke dunia entertainment lagi?" Abi Assegaf menanyai Calvin sewaktu mereka sampai di taman.

"Iya. Tapi saya benci nepotisme dan politik uang di dunia hiburan." Calvin menjawab terus terang.

Saat di Senior High School, Calvin pernah ditawari untuk kembali ke dunia hiburan. Seorang pemilik label rekaman bersedia mengorbitkannya. Asalkan si pemilik label bisa menikah dengan Mamanya. Jelas saja Calvin tak mau. Lebih baik ia hidup terbatas tapi bebas dibandingkan hidup mewah tapi dikekang kekuasaan.

**   

"Senangkah Abi kalau bisa melihat lagi?"

Pertanyaan itu tercetus spontan. Calvin meletakkan gelas kosong dan botol obat di atas nakas.

"Tentu saja. Tapi, apakah mungkin...?" Abi Assegaf balik bertanya, pesimis.

"Kemungkinan selalu ada, Abi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun