"Dua ayam bakar madu," pesan seorang pemuda berskinny jeans biru di sebelahnya.
Ia tersenyum sabar, mencoba mengalah. Pemuda berambut gondrong itu datang lebih dulu, namun dilayani lebih cepat. Ia menyerobot tak mau toleran. Pagi-pagi sudah menguji kesabaran. Tak apalah. Violinis dan penyiar itu mencontek ilmu sabar dari Abi Assegaf dan Arlita.
Arlita bertolak pinggang, menatap Yonathan dengan angkuh. Pria tambun yang sudah tidak tampan lagi itu terus mengganggunya.
"Tidak bosan kamu datang ke butikku?"
Tidak, Adica tidak bosan menunggu. Dirinya baru dilayani setelah kepergian pemuda setengah bad boy itu. Pelayan berparas manis mengangguk saat ia menyebutkan pesanan. Tak lama, berkotak-kotak kue keju berpindah ke tangannya. Lengkap dengan senyum manis si pelayan.
"Terima kasih," Adica tersenyum ramah, lalu berjalan cepat meninggalkan cafe.
Trotoar sudah dipadati orang-orang berbaju kantoran sepagi ini. Adica adu cepat dengan mereka menuju studio. Waktunya mepet. Ia harus naik siaran lagi setelah siaran berjaringan selesai.
"Selesai? Kita belum selesai, Arlita." kata Yonathan, tertawa getir.
Arlita menggebrak meja. "Sudah selesai! Kau tidak tahu diri, Yonathan! Apa matamu buta?"
Tangannya terangkat, memperlihatkan sebentuk cincin emas bertatahkan berlian besar. Terukir jelas nama Zaki Assegaf di sana.Yonathan mengangkat alisnya meremehkan.
"Itu hanya lambang. Tidak berarti aku harus berhenti berusaha..."