Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kapankah Kepedihan Berdamai Denganku?

15 Juni 2017   06:05 Diperbarui: 15 Juni 2017   07:07 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mudah bagi pria berkulit putih sepertinya untuk memilih warna pakaian. Pakaian berwarna terang akan membuat kulitnya terlihat makin cemerlang. Sedangkan pakaian hitam memberikan kesan elegan.

Suami Renna dan ayah Chelsea itu sangat memperhatikan penampilan. Namun, pagi ini Albert memutuskan memakai pakaian hitam bukan karena ingin tampil elegan. Melainkan karena ia akan menghadiri acara pemakaman.

Sekali lagi Albert menatapi refleksi dirinya di cermin. Masih ada satu yang kurang. Ia melepas jam tangan mewahnya. Ini jam tangan yang baru dibelinya bulan lalu. Meski kolektor jam tangan mewah, Albert takkan sesombong itu dengan memakai jam tangan ke acara pemakaman. Albert berusaha tampil sederhana dan apa adanya. Sesederhana apa pun penampilannya, Albert tetap terlihat tampan. Nasib baik menjadi pria tampan: cocok memakai pakaian apa pun. Wajahnya tetap teduh memesona. Postur tubuhnya yang ramping dan tergolong ideal itu terlihat seempurna dalam pakaian apa pun yang dikenakannya.

Jam tangan mewah itu diletakkannya dengan hati-hati di lemari khusus tempat penyimpanan koleksinya. Selesai meletakkan jam tangan, Albert dikagetkan oleh bercak merah yang menodai pakaiannya. Bercak merah itu...darah.

Ternyata bibirnya berdarah. Tubuh ramping pria itu serasa lumpuh seketika. Hatinya kembali berkecamuk oleh firasat buruk. Setahun terakhir, ia jarang sekali mengalami perdarahan di bagian tubuh mana pun. Frekuensi perdarahan paling sering adalah sewaktu ia terkena Leukemia.

Pintu kamar terbuka. Albert tersadar, buru-buru membalikkan tubuh menghadap lemari koleksi jam dan mengusap darahnya sampai bersih. Jangan sampai Renna tahu.

“Hei Dear...what are you doing?” sapa Renna hangat. Melangkah masuk ke dalam kamar. Sosoknya nampak cantik mengenakan baju rumah berwarna Burgundy. Model pakaiannya sederhana saja, sebab ini pakaian sehari-hari. Sentuhan warnalah yang mengambil peran.

“Renna, I’m so sorry...” Albert tergeragap, menatap canggung istrinya.

“Aku sibuk memastikan jam tanganku tersimpan aman. Jadinya tidak melihatmu saat kamu datang.”

“No problem...kamu protektif sekali pada koleksimu ya?”

Sejurus kemudian, Renna menyerahkan karangan bunga yang dibawanya. Albert menerimanya. Ini karangan bunga yang dipesannya dari toko bunga langganannya. Akan ia berikan ke rumah duka.

“Albert, kamu yakin mau pergi sendiri? Kelihatannya kamu tidak cukup sehat.” Renna memastikan untuk kesekian kalinya.

“Totally wrong. Aku baik-baik saja. Aku kuat menyetir, dan aku bisa pergi sendiri.” tolak Albert yakin.

Renna mendesah pasrah. Menyerah pada sikap keras kepala suaminya. Ia bergerak ke sisi Albert. Memegang halus tangan kanannya.

“Kalau ada apa-apa, telepon aku ya?”

“Iya, Sayang.”

Entah sekedar perasaannya atau tidak, Renna meyakini satu hal. Albert yang kuat, tegar, dan kharismatik itu terlihat lebih rapuh. Seolah tubuhnya menyimpan rasa sakit. Dienyahkannya pikiran itu. Ini hanya perasaannya. Albert akan baik-baik saja.

“Sayang, aku pergi dulu ya. Jaga dirimu dan Chelsea. Love you.” Albert berujar, mencium dahi Renna.

“Love you too.”

Albert melangkah pergi. Meninggalkan wangi Calvin Klein yang menempel kuat di pakaian Renna. Wanginya Albert yang selalu ia sukai.

**      

Rumah mewah bergaya Mediterania itu berselimut duka. Isak tangis terdengar di sela lantunan Surah Yasin. Tergesa-gesa Albert turun dari mobilnya. Melangkah memasuki rumah. Meletakkan karangan bunga di tumpukan karangan bunga lainnya.

Banyak sekali pelayat berdatangan. Sebagai pengusaha terkenal, Indra mempunyai banyak teman dan relasi bisnis. Di antara para pelayat, Albert melihat teman-teman dan sepupunya. Rafly dan Muti datang lima menit setelah kedatangannya. Aga dan Chika menyusul di belakang mereka. Nico, sahabat lamanya semasa bersekolah di Al Irsyad Islamic School itu, tiba tak lama kemudian. Ia kini menjadi pengusaha yang menjalin kerjasama dengan Indra. Tiga menit berikutnya, datanglah kakak-beradik Judawisastra: Naufal Judawisastra dan Ronny Judawisastra. Pelayat yang tiba paling akhir adalah pria dengan nama dan kisah hidup yang sama persis dengannya: Albert Fast Cavanaugh. Pria berdarah Sunda-Inggris itu datang bersama istrinya, Andini. Andini sendiri merupakan guru pendamping program homeschooling yang dijalani Chelsea.

Baik Arif Albert maupun Albert Fast Cavanaugh sama-sama sukses di bidang bisnis. Keluarga Indra pun berhubungan baik dengan mereka. Langsung saja kedua pria setinggi 173 itu disambut dengan rangkulan hangat oleh Evan Jonathan, ayah Indra.

**     

Rasa kehilangan menembus relung hati. Pandangannya jatuh pada jenazah Indra. Hati pengusaha muda keturunan Jawa-Jerman-Skotlandia berdenyut sakit. Secepat ini Indra pergi. Di dekatnya, Reginia, wanita yang baru dinikahi Indra dua tahun lalu, terisak.

“Terima kasih kamu mau datang, Albert. Kamu membawa pengaruh positif dalam hidup Indra. Suamiku menjadi mualaf karenamu...” Reginia berterima kasih dengan suara lirih.

“Bukan aku, Reginia. Tapi Allah yang mengislamkannya.” koreksi Albert lembut.

Jenazah siap dimandikan. Albert bertanya pada Reginia.

“Bolehkah aku ikut memandikan jenazahnya?”

“Tentu saja.”

Ini pengalaman ketiganya memandikan jenazah. Sebelumnya ia pernah memandikan jenazah Tuan Adolf dan Nyonya Anggun. Dengan lembut, Albert membasuh jenazah Indra. Menuruti sunnah dengan mendahulukan anggota tubuh sebelah kanan.

Usai dimandikan dan dikafani, jenazah dibawa ke Masjid Al Irsyad Kota Baru Parahyangan untuk dishalatkan. Albert berdiri di saf terdepan. Persis di samping kanan Imam. Menjalankan prosesi shalat jenazah dengan khusyuk. Mendoakan Indra setulus hati.

Begitu dekatnya kita dengan kematian. Maut bisa datang kapan saja. Orang yang cerdas adalah orang yang mengingat mati.

Shalat jenazah selesai. Saatnya jenazah dimakamkan. Puluhan mobil mengiringi mobil ambulans yang membawa jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.

Jarak masjid dengan pemakaman cukup jauh. Butuh waktu sekitar setengah jam. Di tengah perjalanan, Albert merasakan kepalanya sakit. Ia memaksa diri terus mengemudikan mobil. Beberapa kali Albert nyaris menabrak kendaraan dan pejalan kaki di depannya. Syukurlah ia bisa mengendalikan setir mobil sebelum hal itu terjadi. Andai saja ada Renna bersamanya, ia tak perlu memaksakan diri.

Prosesi pemakaman berlangsung khidmat. Albert berdiri di sebelah Muti. Menatap nanar jenazah yang tengah dimasukkan ke liang lahat. Batinnya tertusuk ironi. Indra meninggal karena Leukemia. Ia pernah mengidap penyakit itu. Banyak pasien Leukemia yang akhirnya tak tertolong. Akankah penyakit itu hadir lagi dalam hidupnya?

“Kamu kepikiran penyakitnya Indra, ya?” Muti berbisik.

“Iya, Muti. Bagaimana bila...”

“Sssttt, jangan berpikiran seperti itu. Kamu pasti sehat. Kamu sudah sembuh dari kanker.” potong Muti. Meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Wanita berdarah India itu berupaya menenangkan Albert.

Rasa sakit di kepalanya semakin menyiksa. Albert bertahan mengikuti prosesi itu. Ia tak mau kehilangan momen terakhir dengan almarhum Indra. Menjelang akhir pemakaman, sesuatu yang buruk terjadi. Hidung Albert berdarah. Muti yang pertama kali melihatnya.

“Astaghfirulah...Albert, kamu mimisan. Ayo kita ke rumah sakit!” kata Muti, menggenggam erat tangan Albert.

“Tapi...”

“Jangan menolak. Kamu harus ke rumah sakit!” paksa Muti, panik bercampur gemas.

Rafly, Ronny, dan Naufal terburu-buru mendekat. Memapah Albert ke mobil. Rumah sakit adalah tujuan mereka.

**    

“Tolong jangan beri tahu Renna...” pinta Albert lirih.

Muti duduk di samping kanannya, sedangkan Rafly di samping kiri. Naufal mengemudikan mobil. Ronny duduk di bangku depan menemani kakaknya. Berulang kali Naufal membunyikan klakson dan menyalip mobil di depannya. Tindakan itu terlahir dari kecemasannya. Instingnya sebagai dokter bekerja cepat. Ia paham, sahabat sekaligus pasiennya itu tidak baik-baik saja.

“Renna berhak tahu. She’s your wife, isn’t she?” bantah Muti.

“Muti, please...” Albert menatap dalam-dalam mata sepupunya.

Ditatap seperti itu, Muti luluh. Ia tak bisa menolak. Rafly berkata bijak.

“Sekarang kamu fokus dengan dirimu, Albert. Kamu harus sehat lagi. Okey?”

Mereka tiba di rumah sakit. Segera saja Albert dibaringkan di atas brankar. Dua orang suster mendorong brankar ke UGD. Muti, Rafly, dan Ronny mengikuti dari belakang. Sementara Naufal berlari mendahului mereka. Mempersiapkan beberapa hal untuk menangani Albert.

Mereka menanti dengan waswas. Naufal berusaha semaksimal mungkin menangani dan merawat sahabatnya. Epistaksis sudah dihentikan. Meski begitu, tetap saja Naufal dan Albert memendam kecemasan. Mimisan bagi orang sehat mungkin bisa dianggap normal. Tapi bagi mantan pasien kanker, jangan dianggap remeh.

Langsung saja serangkaian pemeriksaan dilakukan. Dimulai dari anamnesis atau wawancara mengenai riwayat penyakit. Lalu tes laboratorium. Terakhir adalah BMP (Bone Marrow Puncture). Tes akhir pengambilan sampel massa sumsum tulang belakang sebelum dokter bisa mendiagnosis ada-tidaknya Leukemia pada pasien.

Ketakutan kecil tumbuh di hati Albert saat memasuki ruang operasi. Ya Allah, kuatkan dirinya. Ia selalu dicekam kesedihan dan kekhawatiran tiap kali masuk kamar operasi. Albert hanya bisa berharap, tak ada lagi kepedihan yang menimpanya.

**    

Turn away

If you could get me a drink

Of water 'cause my lips are chapped and faded

Call my aunt

Marie

Help her gather all my things

And bury me in all my favorite colors,

My sisters and my brothers still

I will not kiss you

Cause the hardest part of this is leaving you

Now turn away

Cause I'm awful just to see'

Cause all my hairs abandoned all my body

Oh, my agony,

Know that I will never marry,Baby,

I'm just soggy from the chemo

But counting down the days to go

It just ain't livingAnd I just hope you know

That if you sayGoodbye today

I'd ask you to be true

Cause the hardest part of this is leaving you

Cause the hardest part of this is leaving you (My Chemical Romance-Cancer).

Piano itu dimainkannya dengan penuh emosi. Lirik lagu yang ia nyanyikan dengan suara barithonnya seolah jeritan hatinya sendiri. Hati Albert kembali hancur.

Accute Lymphocitic Leukemia, penyakit yang telah lama meninggalkannya itu kini kembali lagi. Sekarang sudah mencapai stadium 3B. Perkembangan kanker itu semakin cepat. Ketiga kali dalam hidupnya, Albert sakit kanker.

Vonis mandul seakan belum cukup. Rupanya kepedihan belum mau berdamai dengannya. Kapankah kepedihan ini akan berakhir?

Kini Albert benar-benar pasrah. Berserah diri sepenuhnya pada Allah. Tawaran Naufal untuk menjalani prosedur pengobatan Leukemia ia tolak. Penghiburan Rafly, Muti, dan Ronny tak ada artinya lagi. Albert bertekad menyembunyikan penyakitnya dari Renna.

Ia menyembunyikan penyakitnya bukan tanpa alasan. Ada motif perlindungan di sana. Albert tidak mau membuat Renna khawatir. Ia melindungi perasaan Renna. Jangan sampai kebahagiaan Renna rusak gegara penyakit kanker yang menggerogoti tubuh Albert.

Di sisa hidupnya, Albert berniat membahagiakan Renna dan Chelsea. Lihatlah, betapa tidak egoisnya dia. Selalu memikirkan orang lain meski ia sakit.

“Kenapa menyanyikan lagu itu, Sayang?”

Suara sopran menegurnya halus. Disusul wangi Victoria’s Secret Dream Angel. Renna duduk di sampingnya. Membelai rambut Albert. Merangkul lengannya mesra.

“Aku suka lagu itu,” jawab Albert tanpa memandang mata Renna.

Mantan psikolog dan model keturunan Sunda-Belanda itu menatap Albert lekat. Ia merasakan kesedihan dalam diri Albert. Walau ia tak tahu apa sebabnya.

“Kamu sedih? Kenapa?” Renna bertanya penuh perhatian.

“Tidak...siapa bilang aku sedih?” bantah Albert.

“Apa pun masalahmu, bagilah padaku. Kita sudah janji. Tak ada rahasia di antara kita.”

Albert terdiam. Ia terpaksa mengingkari janji. Sebab ia sudah merahasiakan sesuatu dari istrinya.

“Chelsea sudah tidur?” Albert mengalihkan pembicaraan.

“Sudah. Selesai Tarawih dia langsung tidur. Mungkin dia kelelahan. Katanya, seharian ini dia kangen kamu.”

Mengingat Chelsea selalu menyenangkan. Beban berat di hatinya sedikit berkurang. Chelsea dan Renna adalah permata hidupnya.

“Besok aku mau melewatkan waktu sehari penuh bersama dia. Sama kamu juga.” janji Albert.

Renna tersenyum kecil. “Jangan memaksakan. Tidak apa-apa kalau kamu sibuk.”

“Besok aku free. Aku memang ingin mengajakmu dan Chelsea ke luar kota.”

“Kemana? Kok mendadak?”

“Ke Karawang. Aku mau ziarah ke makam Ayah, Bunda, dan sahabatku di San Diego Hills.”

“Sahabatmu? Oooh...I know. Eksekutif muda yang tinggal di Jakarta itu, kan? Yang istrinya artis, kan? Yang mualaf juga, kan? Siapa namanya? Fer...”

“Namanya Ferry, Renna.”

Andai saja Renna tahu, ia akan shock. Albert tak hanya berziarah ke makam kedua orang tua dan sahabatnya. Ia pun telah memesan unit pemakaman tipe Private Estate di Wisdom Mansion di taman pemakaman itu. Tak tanggung-tanggung, unit pemakaman bernuansa Muslim yang dipesannya berbandrol harga 583 juta. Albert mempersiapkan segalanya dengan sistematis sebelum maut menjemput.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun