Sesampainya di rumah, aku diam saja. Keringat dingin mulai membasahi punggungku. Mama bertanya kenapa aku terlihat pucat, tapi aku hanya menjawab, "Nggak apa-apa, Ma." Tapi rasa bersalah itu tidak bisa kutahan. Akhirnya, setelah mengumpulkan keberanian, aku mengatakan semuanya. Wajah mama langsung berubah, dan papa juga tampak terkejut.
Papa mengambil HP itu, meneliti kerusakannya, lalu berkata tegas,
"Papa kan sudah bilang. Jangan bawa HP ke sekolah. Sekarang lihat akibatnya."
Aku menunduk, merasa sangat bersalah. "Maaf ya, Pa... Ma... Aku janji nggak akan ulangi lagi," ucapku lirih.
Kami pun pergi ke konter sore itu juga. Alhamdulillah, HP-ku masih bisa diperbaiki. Biayanya memang cukup mahal, dan itu membuatku makin merasa bersalah. Tapi papa tetap membayarnya tanpa mengeluh, hanya berkata, "Semoga kamu benar-benar belajar dari kejadian ini."
Namun kejutan terjadi malam harinya. Saat sedang makan malam, papa menyerahkan HP-ku yang sudah diperbaiki. Tapi ada satu perubahan: sebuah stiker kecil bergambar peringatan tertempel di bagian belakang HP. Di sana tertulis:
"Jangan ulangi kesalahan yang sama. Sayang bukan berarti selalu menuruti."
Aku tercekat membaca tulisan itu. Pesan itu singkat, tapi sangat dalam. Aku sadar, bukan hanya HP yang rusak karena kesalahanku, tapi juga kepercayaan orang tua.
Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi membawa HP ke sekolah tanpa izin. Aku belajar bahwa kepercayaan itu mahal harganya. Dan dalam hati, aku berjanji---tak akan ku ulangi lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI