Mohon tunggu...
Lanang Irawan
Lanang Irawan Mohon Tunggu... Lainnya - Senang membaca dan berbagi tulisan.

Kedipan nyalakan bara, lelapnya pulaskan renjana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dibunuh Penjual Tanah

18 Juli 2020   07:53 Diperbarui: 18 Juli 2020   10:00 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oh! Rupanya si tua versi muda itu sejenisku, aku memihaknya sekarang. Apa lagi kelakuannya persis kelakuan bapak ketika merebut makanan temanku. Ia memukul si tua yang membawaku tadi sampai terjembab ke lantai.

"Monyet tua! Kau terlalu dekat dengan monyet-monyet itu sampai tak bisa berpikir ke depan. Tanah kau itu hanya bisa dipakai menanam padi dua tahun sekali, sedangkan mereka akan mengembangkannya jadi pabrik yang menghasilkan uang banyak-banyak."

"Cih! Setan mabuk sepertimu tau apa? Kau mudah dibujuk makelar itu, setan!"

Selanjutnya kulihat leher si tua yang membawaku putus. Cairan merah memancar dari sana mengotori muka si tua versi muda yang tadi mencabut benda berkilat tajam dari pinggangnya sebelum menghantam leher si tua yang membawaku.

Ah! Si tua versi muda ini ternyata lebih rendah dari bangsaku. Bangsaku meskipun sering marah-marah dan gusar, tak pernah membikin bangsa sendiri berkelejat kesakitan. Aku jadi meronta-ronta ingin kabur sambil berteriak memanggil ibu, bapak, dan kawan-kawan. Sayangnya tali ini masih mengekang.

Sedang si tua versi muda semakin mendekat, matanya garang terbakar. Benda berkilau itu kembali ia cabut. Secepat kilat terayun dan mendarat tepat di leherku.

Sesak, dingin, dan nyeri menguar dari bekasnya. Aku ambruk, pandanganku menggelinding dan berhenti tepat di samping kepala si tua.

Dari kepala yang terpisah kulihat tanganku masih memegang apel pemberian si tua yang tersisa setengah, tubuh kecilku telentang tanpa kepala di meja. Aku ingin kabur, tapi kakiku juga ada di sana.

Sialan! Andai aku menuruti orang tua supaya tidak bosan diam di sana tentu ini takkan terjadi. Padahal aku baru lahir enam bulan kemarin. Sungguh! Aku masih ingin pulang dan berayun-ayun di akar gantung dari satu-satunya pohon di sana lagi. Namun, pandangan meredup, dan aku mengantuk sekali, Pak Tua.

Sukabumi, 17 Juli, 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun