Mohon tunggu...
Lamria F. Manalu
Lamria F. Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh Hukum

Berbagi Informasi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

KDRT dan Pentingnya Kepedulian Kita

26 Mei 2021   09:02 Diperbarui: 26 Mei 2021   09:13 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: KDRT yang dilakukan suami kepada istrinya Sumber: teknologiku.my.id

Akhir-akhir ini, sederet kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) kembali mencuat di Tanah Air. 

Pada bulan Januari lalu, seorang suami nekat menganiaya dan membakar istrinya sendiri lantaran cekcok karena cemburu di Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara. Aksi keji ini mengakibatkan sang istri terpaksa mengalami luka bakar hingga 65 persen. Pelaku pun diancam dengan pidana penjara 10 tahun berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Salah satu kasus yang masih hangat saat ini adalah kekerasan yang diakukan suami kepada istrinya di Karanganyar, Lebak, Banten. Pasalnya terbilang sepele, sang istri menolak ajakan mandi bersama sang suami. Sang istri bahkan mengaku suaminya tega menggergaji wajahnya gara-gara penolakan tersebut. Kekerasan yang dialami sang istri bukanlah yang pertama kali terjadi. Korban yang sudah tak tahan akhirnya melaporkan perbuatan suaminya ke Polres Lebak pada tanggal 21 Mei 2021 yang lalu.

Kasus-kasus KDRT dan kekerasan fisik yang menyertainya memang sering membuat kita tercengang. Selama masa pandemi ini, berbagai sumber menyebutkan bahwa kasus KDRT mengalami kenaikan yang signifikan. 

Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan pada tanggal 5 Maret 2021 menyebutkan bahwa kasus Kekerasan terhadap perempuan (KtP) tahun 2020 adalah sebanyak 299.911 kasus. Selanjutnya, kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sebanyak 8.234 kasus di mana ranah Personal (RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal) sebanyak 6.480 kasus (79%).

Masih sama seperti tahun sebelumnya, kekerasan fisik masih menjadi peringkat pertama, yaitu sebanyak 2.025 kasus (31%) menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis sebanyak 1.792 (28%), dan ekonomi 680 kasus (10%). Dari data ini dapat disimpulkan bahwa KDRT tidak melulu soal kekerasan fisik, melainkan dapat pula berupa kekerasan lainnya.

Sesungguhnya, Catahu yang disajikan oleh Komnas Perempuan belum sepenuhnya menggambarkan perkembangan kasus KDRT di Tanah Air. Faktanya, kasus KDRT sulit diungkap karena sebagian korban merasa takut akan disudutkan oleh masyarakat bila mereka berterus terang tentang urusan rumah tangganya. 

Budaya patriarki menjadi penyebab utama timbulnya ketakutan ini. Adanya ketergantungan secara ekonomi terhadap pasangan menjadi penyebab lainnya. 

Selain itu, perasaan cinta dan harapan bahwa pasangan akan berubah dapat pula menyebabkan korban memilih untuk menutupi adanya KDRT. Tak jarang, pelaku juga meneror korban sehingga korban memilih untuk tutup mulut daripada diperlakukan lebih buruk dari sebelumnya.

Hadirnya UU PKDRT yang disahkan pada tanggal 22 September 2004 lalu, menimbang bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. KDRT merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. UU ini lahir untuk menjawab permasalahan sistem hukum di Indonesia yang belum menjamin perlindungan terhadap korban KDRT yang kebanyakan adalah perempuan.

Dalam UU ini, yang dimaksud dengan KDRT setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Lingkup rumah tangga di sini meliputi: suami, istri, dan anak; orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Selain kekerasan fisik, larangan dalam UU ini termasuk kekerasan psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. 

Sementara itu, kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. 

Terakhir, penelantaran rumah tangga, yaitu termasuk mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Meningkatnya kasus KDRT selama pandemi disebabkan oleh banyak faktor, misalnya tingginya intensitas pertemuan antar anggota keluarga selama di rumah saja yang rentan menimbulkan konflik. 

Faktor ekonomi akibat PHK atau turunnya penghasilan juga memicu kerentanan ini. Perempuan yang merangkap sebagai pekerja, ibu, sekaligus istri menanggung beban domestik yang meningkat, mulai dari mengajari anak, mengurus rumah tangga, hingga bekerja dari rumah. Selain dapat memicu stres dan kelelahan, beban domestik ini juga menjadi alasan mengapa perempuan semakin rentan terhadap kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran.

Perlu diketahui, bila terjadi KDRT, korban berhak melaporkan secara langsung langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Selain ke kepolisian, korban juga dapat mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia (lihat di SINI). Penting diketahui, tindak pidana kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang diatur dalam UU PKDRT merupakan delik aduan.

Lebih lanjut, pemulihan korban yang merupakan segala upaya untuk penguatan korban KDRT agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis telah diatur dalam PP No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban KDRT. 

Fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban dalam PP ini meliputi: ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian; tenaga yang ahli dan profesional; pusat pelayanan dan rumah aman; dan sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.

Kasus KDRT tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan aparat penegak hukum saja, melainkan kewajiban kita bersama. 

Dalam Pasal 15 UU PKDRT disebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Selain menimbulkan sakit fisik, KDRT dapat mengakibatkan tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada pasangan yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stres pasca trauma, mengalami depresi, bahkan hingga menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. Mari, lebih awas dan peduli pada korban KDRT yang mungkin ada di sekitar kita.

Sumber:
SATU, DUA, TIGA, EMPAT, LIMA, ENAM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun