Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tekad

3 April 2019   09:00 Diperbarui: 3 April 2019   09:10 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Muhammad


Bilik tirai panggung terbuka lebar. Lampu sorot dari berbagai arah tertuju kepadaku. Aku berjalan menuju panggung, mengenakan kemeja lengan panjang polos yang terkenal di zamannya serta menggunakan jas berserta rompi yang tak kalah mengkilaunya. Gemuruh tepuk tangan penonton meriah di aula besar. Aku tahu hari ini akan tiba, hari saat aku menunjukkan kepada para mahasiswa tentang hakekat tekad. Aku tersenyum kepada para penonton sembari melambaikan tangan.

Sebelum aku memulai untuk berbicara, aku mengejamkan mata, melihat titik awal aku memulai ini semua, di mana masa-masa itu ada. Masa dimana aku berjuang, dan meneteskan air mata.

~~~

Sinar mentari menghiasi, gumpalan embun menghadiri, sinar cahaya mentari memasuki celah jendela kamarku. Hari ini sungguh hari yang istimewa. Hari yang berbeda dari hari sebelumnya, entah mengapa hari ini aku begitu senang dan bahagia. Tetapi, ternyata hari ini adalah awal dari semuanya.
Aku berlari keluar rumah sembari berpamitan dengan orang tua. "Ibu, Ayah, aku keluar ya, ingin ikut pembukaan lomba badminton." Aku mencium tangan ayah dan ibu. Saking semangatnya diriku ini, aku berlari menuju lapangan badminton. Bertemu dengan sahabat lamaku, Sebastian.

"Hai, Sebastian, bagaimana kabarmu? Semangat sekali kau hadir tepat waktu?", aku menemuinya dengan napas tersengal, karena setelah lari dari rumah. Selalu teman karibku ini hadir tepat waktu di segala acara dan kegiatan. Tidak pernah telat, dan terburu-buru, santai tapi tepat waktu.

"Seperti biasa, Karim, aku selalu bersemangat dalam mengikuti berbagai kegiatan, khususnya dalam permainan badminton ini", dia berkata sembari bertolak pinggang.

"Tapi, tahukah kau, Sebastian, menjadi rivalmu dalam permainan ini adalah impianku selama ini."

"Jangan pernah kau berharap bisa mengungguliku, Karim."

"Kita lihat saja nanti", kami menyaksikan pembukaan itu dimulai. Aku tahu dalam perlombaan ini, aku akan berusaha semampu yang aku bisa. Sekuat tekad yang tercipta.

Setelah pembukaan dimulai, maka setiap pemain dari kelompok lomba ini dimulai sesuai rentang waktu yang diberikan. Dan aku termasuk kelompok tiga dan sahabatku Sebastian dia kelompok lima, dan aku berharap semoga kami bertemu ketika final.

Ketika lomba dimulai, setiap pemain mengerahkan seluruh kekuatan dan bakat yang mereka punya. Mereka memberikan kekuatan terbaik dalam permainan ini. Ketika giliranku dimulai, aku pun mengarahkan segala kekuatan yang ku miliki. Aku melompat ke kiri, untuk memukul bola, selanjutnya ke kanan, dan melompat untuk pukulan pamungkas, smash, akhirnya masuk dalam batas ujung lapangan. Itu pukulan terakhir, sekaligus pamungkas dariku untuk mengakhiri permainan ini.

Setelah permainan berjalan seiring waktu, akhirnya aku bertemu rival sekaligus sahabatku yang sangat aku impikan selama ini, bertanding melawannya bukan bersamanya.

"Bersiaplah, Karim, kau salah memilihku sebagai rivalmu, aku tidak akan pernah kalah, oleh siapa pun, bahkan sahabatku sendiri." Tatapan matanya berbeda dari yang ku kira, seperti bukan teman bahkan sahabat yang aku yakini selama ini.

"Baiklah, Sebastian, kita lihat saja nanti." aku memandangnya dengan pandangan heran, ada apa dengan sahabatku ini.

Pluit dari wasit dibunyikan, tanda permainan di mulai, aku memulai pukulan service kepadanya dari sisi kiri, kami saling adu pukul bola dengan raket, kami berdua lincah dan cepat, ketika dia memulai gerakan tipuan, seakan ingin memukul bola jauh, ternyata dekat. Tapi, aku tidak terkecoh dengan taktik yang dia laksanakan, begitupun dia, tidak pernah lolos dari pukulan pamungkasku, pukulan smash yang selama ini kuyakini itulah pukulan terbaikku, ternyata dia bisa menangkalnya serta menangkisnya dengan baik. Ketika kami mengakhiri permainan jumlahnya sama, tepat di pertambahan waktu, dia lebih unggul satu point dariku dan dia yang memenangkan lomba ini.

Aku terkesiap, bagaimana bisa? Dia mampu mengalahkan sahabatnya sendiri? Aku tidak percaya, aku telah kalah menghadapinya, tepat diujung waktunya. Maka, aku pun tidak akan pernah menyerah untuk tetap bisa mengikuti lomba ini kedepannya.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Ketika waktunya tiba untuk permainan perlombaan ini, aku selalu mengikutinya, selalu mengisinya. Selalu berlatih tanpa henti, aku yakin suatu saat nanti aku akan mampu mengalahkannya. Maka benar tibalah waktu itu tiba.

Terik sinar matahari menghiasi desa kami, aku tahu akan datang masanya, dan sekaranglah tiba saatnya. Kami berdiri saling berhadapan, semua sanak saudara, kerabat menghiasi sekitar lapangan.

"Hey, bagaimana mungkin, Karim bisa mengalahkan Sebastian! Selama bertahun-tahun bertanding tak pernah menang, dan selalu polanya sama, Karim yang kalah!" seluruh warga tertawa terbahak-bahak bersama, hanya kakaku yang tersenyum menanggapinya, dia berbisik kepadaku dengan bahasa isyarat, "kau pasti bisa." Ya, dan aku tahu, aku pasti bisa.

Perlombaan di mulai, aku tahu, ini tak akan mudah untuk melawannya, tapi perjuangan tanpa henti adalah kuncinya. Maka benar aku unggul di awal, menang banyak dari pada dia, maka dia pun mulai membalasnya lebih keras lagi, setiap pergerakan yang dia lakukan semakin berbeda, seperti ada rasa kebencian didalam dirinya. Bukan soal aku tidak bersemangat dalam menanggapinya, walaupun tetap sekarang dia lebih unggul dariku, tapi seperti kebencian memenuhi wajahnya, ada apa?

Aku tidak melanjutkan permainan ini lagi, sudah cukup. Aku kembali kalah darinya untuk sekian kalinhya. setiap aku mencoba untuk menang, kekalahan semakin aku dapat. Semakin aku mengikuti lomba, semakin aku kalah di titik awal aku memulainya. Aku sangat ingin berjuang dan berkorban untuk kesekian kalinya, tapi semakin berkorban, semakin aku merasa diri ini tidak pantas untuk bermain badminton.

Tapi, bukan itu, bukan soal kekalahan yang aku khawatirkan, jauh dari itu ada hal penting yang ku khawatirkan, ada apa dengan Sebastian? Ada sosok yang berbeda terjadi didalam dirinya. Aku duduk tertunduk lesu, meneteskan air mata, tak kuasa menahan ini semua.

Seseorang datang menghampiriku, "Sudahlah, Karim, jangan bersedih lagi, kau adalah adikku yang paling hebat yang selama ini keluarga kita miliki. Jangan sampai hanya karena kekalahanmu ini, kau semakin benci dengan sahabatmu itu, Sebastian." Kakakku duduk tepat di sampingku sembari menepuk bahuku.

"Tapi, kak, semakin dia menang, semakin dirinya terbumbui oleh hawa nafsu kesombongan, bukankah itu adalah hal yang hina? Padahal selama ini kami berteman bahkan bersahabat dan bermain bersama tanpa adu mulut yang berarti." Mataku meneteskan air mata, tangisan seorang sahabat.

"Percayalah, Karim, kau pasti bisa mendapatkan sahabatmu kembali, hanya soal waktu, dia akan kembali menjadi sahabatmu yang dulu." Kakakku tersenyum manis melihatku, sungguh penjelasan yang dia utarakan selalu menenangkan hati.

"kau ingin mendengarkan sebuah kisah, Karim?"

"Ingin ku mendengarkannya sekarang kak, tolong ceritakan semuanya."

"Baiklah, sepertinya kau antusias sekali yaa mendengarkan kisah ini."

"Kau tahu, rintik hujan yang kau lihat pagi ini? Rintik hujan yang menghiasi angkasa?"

"Ya, aku tahu kak."

"Setiap tetes yang jatuh dari langit, setiap rintik yang turun ke bumi, ada yang peduli atas itu semua, kapan dia jatuh di atas genting, kapan dia jatuh di atas rumput, bahkan kapan dia jatuh tepat di atas mukamu, yaa ada yang peduli atas itu semua." Kakakku sembari melihat gerimis hujan menghiasi halaman rumah kami.

"Maka sepertinya kau sudah tahu maksudku, siapa yang peduli atas semua ini, Karim?" Dia menatapku, dengan tatapan ketulusan.

"Dialah Sang Maha Pencipta, yang menciptakan kita", aku tersenyum kepadanya.

"Ya, kau benar, bayangkan itu, Karim, mintalah kepadanya atas segala keluh kesah yang ada, karena di setiap langkah yang kita alami, mau itu kabar baik maupun buruk, selalu ada hikmah dan penjelasan atas itu semua, dan mungkin kau tidak perlu mengetahuinya karena Tuhan sengaja menyimpan dari ketahuan itu sendiri, maka pahamilah baik-baik hal ini, Karim", kakakku berdiri dan beranjak menuju rumah.

~~~

Aku membuka seluruh mataku, aku melihat seluruh penonton yang amat sangat antusias untuk mendengarkan seluruh nasehat yang akan aku sampaikan. Aku terpana, ternyata hari ini akan tiba, hari dimana aku akan merasakannya. Merasakan atas tekad yang tercipta dengan mengikhlaskan tujuan hidup yang tercipta. Aku tahu sekarang jawabannya, aku tahu, dan akan aku sampaikan.
   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun