Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tekad

3 April 2019   09:00 Diperbarui: 3 April 2019   09:10 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika lomba dimulai, setiap pemain mengerahkan seluruh kekuatan dan bakat yang mereka punya. Mereka memberikan kekuatan terbaik dalam permainan ini. Ketika giliranku dimulai, aku pun mengarahkan segala kekuatan yang ku miliki. Aku melompat ke kiri, untuk memukul bola, selanjutnya ke kanan, dan melompat untuk pukulan pamungkas, smash, akhirnya masuk dalam batas ujung lapangan. Itu pukulan terakhir, sekaligus pamungkas dariku untuk mengakhiri permainan ini.

Setelah permainan berjalan seiring waktu, akhirnya aku bertemu rival sekaligus sahabatku yang sangat aku impikan selama ini, bertanding melawannya bukan bersamanya.

"Bersiaplah, Karim, kau salah memilihku sebagai rivalmu, aku tidak akan pernah kalah, oleh siapa pun, bahkan sahabatku sendiri." Tatapan matanya berbeda dari yang ku kira, seperti bukan teman bahkan sahabat yang aku yakini selama ini.

"Baiklah, Sebastian, kita lihat saja nanti." aku memandangnya dengan pandangan heran, ada apa dengan sahabatku ini.

Pluit dari wasit dibunyikan, tanda permainan di mulai, aku memulai pukulan service kepadanya dari sisi kiri, kami saling adu pukul bola dengan raket, kami berdua lincah dan cepat, ketika dia memulai gerakan tipuan, seakan ingin memukul bola jauh, ternyata dekat. Tapi, aku tidak terkecoh dengan taktik yang dia laksanakan, begitupun dia, tidak pernah lolos dari pukulan pamungkasku, pukulan smash yang selama ini kuyakini itulah pukulan terbaikku, ternyata dia bisa menangkalnya serta menangkisnya dengan baik. Ketika kami mengakhiri permainan jumlahnya sama, tepat di pertambahan waktu, dia lebih unggul satu point dariku dan dia yang memenangkan lomba ini.

Aku terkesiap, bagaimana bisa? Dia mampu mengalahkan sahabatnya sendiri? Aku tidak percaya, aku telah kalah menghadapinya, tepat diujung waktunya. Maka, aku pun tidak akan pernah menyerah untuk tetap bisa mengikuti lomba ini kedepannya.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Ketika waktunya tiba untuk permainan perlombaan ini, aku selalu mengikutinya, selalu mengisinya. Selalu berlatih tanpa henti, aku yakin suatu saat nanti aku akan mampu mengalahkannya. Maka benar tibalah waktu itu tiba.

Terik sinar matahari menghiasi desa kami, aku tahu akan datang masanya, dan sekaranglah tiba saatnya. Kami berdiri saling berhadapan, semua sanak saudara, kerabat menghiasi sekitar lapangan.

"Hey, bagaimana mungkin, Karim bisa mengalahkan Sebastian! Selama bertahun-tahun bertanding tak pernah menang, dan selalu polanya sama, Karim yang kalah!" seluruh warga tertawa terbahak-bahak bersama, hanya kakaku yang tersenyum menanggapinya, dia berbisik kepadaku dengan bahasa isyarat, "kau pasti bisa." Ya, dan aku tahu, aku pasti bisa.

Perlombaan di mulai, aku tahu, ini tak akan mudah untuk melawannya, tapi perjuangan tanpa henti adalah kuncinya. Maka benar aku unggul di awal, menang banyak dari pada dia, maka dia pun mulai membalasnya lebih keras lagi, setiap pergerakan yang dia lakukan semakin berbeda, seperti ada rasa kebencian didalam dirinya. Bukan soal aku tidak bersemangat dalam menanggapinya, walaupun tetap sekarang dia lebih unggul dariku, tapi seperti kebencian memenuhi wajahnya, ada apa?

Aku tidak melanjutkan permainan ini lagi, sudah cukup. Aku kembali kalah darinya untuk sekian kalinhya. setiap aku mencoba untuk menang, kekalahan semakin aku dapat. Semakin aku mengikuti lomba, semakin aku kalah di titik awal aku memulainya. Aku sangat ingin berjuang dan berkorban untuk kesekian kalinya, tapi semakin berkorban, semakin aku merasa diri ini tidak pantas untuk bermain badminton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun