Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Hikayat Kamu dan Lahirnya Puisi Adik

29 Maret 2019   15:41 Diperbarui: 29 Maret 2019   16:36 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hikayat kamu dan Lahirnya Puisi Adik
Oleh : Amelia Ru

Otak tidak melahirkan puisi, tapi hati
Sejauh manapun benak itu diajak berlari
Jika hati enggan
Takkan ada satu pun diksi yang mengisi bait-bait setiap haluan
Sekalipun bebuku bak cairan yang menyuntik otak
Jika hati mengelak
Ia kan terus menjaga jarak
Sebagaimana rupa hati
Demikian wajah puisi

Adik, dunia yang sama-sama kita pijak sudah berbeda. Percayalah, meski saya adalah orang yang sama yang seringkali dipojokkan Sintua, imaji ini sudah bertolak lebih jauh dari peradaban Mesopotamia. Bagaimana peradaban makhluk berakal terus menuntut selesai yang tak pernah berkesudahan, hingga Adik pun melihat benda-benda mati itu jadi berakal, bukan?

Kata demi kata berderai
Mengikuti sketsa dirimu dalam bayang
Penuh hati akan harap-cemas takdir yang remang
Kejujuran pun kemudian tergadai
Pekerjaan pena usai
Sebab tiada diksi lain, selain kamu
Sedang jubahku berhias malu.

Adik, satu-satunya yang membedakan manusia berakal dan benda mati berakal itu hanya hati. Beruntunglah jika hati itu masih dapat tersentuh, oleh apapun yang kuasa menyentuh. Hanya,  buatlah hati Adik selalu terjaga dari sentuhan yang hanya mengantarkan nyala api akhirat menyentuh Adik. Patutkah hati Adik resah dan gelisah selain untuk perkara serupa #Cristcrunch yang berdarah?

Suara
Bolehkah aku menitipkan pesan?
Setuju pada Tere Liye
Perihal perempuan makhluk kepastian
Meski lirih terdengar angin
Lalu ruang ini menjawab dengan dingin
Aku bersimpuh diatas dipan-dipan
Menyudahi episode harap hanya pada seorang teman
Butakanku dari jerit tangis saudara seiman
Sekoma itukah hatiku selama ini?

Adik, tatap ponselmu yang seringkali tersemayam dalam genggaman. Bukan hanya tentang saya, apapun bisa Adik dapatkan. Maka bukankah hiasan malu itu bias dari cinta Adik kepada Allah dan Rosul-Nya melebihi apapun?
Risalah "Iqra'!" tentu tak asing di telinga Adik.
Bacalah..
Bacalah..
Bacalah..
Lalu berpuisilah.

Pada denting yang tak terasing
Aku menyerah.
Pada jarum jam yang tak berarah.
Aku berhenti tanpa amarah.
Adik, tetaplah miliki hati yang mudah tersentuh oleh kekata alam yang temaktub dalam Firman-firman, selamat berpuisi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun