Mohon tunggu...
Kusworo
Kusworo Mohon Tunggu... Penjelajah Bumi Allah Azza wa Jalla Yang Maha Luas Dan Indah

Pecinta Dan Penikmat Perjalanan Sambil Mentafakuri Alam Ciptaan Allah Swt

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gedung DPR : Benteng Hijau yang Menjauh dari Rakyat

14 September 2025   09:32 Diperbarui: 14 September 2025   09:38 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung DPR-MPR RI | Dok.indonesiaexpat.id

Di Jakarta, gedung DPR justru seolah museum eksklusif. Siapa pun yang datang tanpa undangan resmi hanya bisa berfoto dari luar. Jika ingin bertemu wakil rakyat, jalannya panjang: proposal, birokrasi, protokol. Seolah logika dibalikkan---yang berdaulat harus meminta izin kepada yang dikuasai.


Ironi Demokrasi Jalanan

Pendiri bangsa dulu memperjuangkan kemerdekaan di jalanan. Bung Hatta, Sjahrir, Tan Malaka; semuanya memanfaatkan massa aksi sebagai kekuatan. Kini, suara jalan justru dianggap gangguan.

Setiap kali ada UU kontroversial; UU KPK, UU Cipta Kerja, Omnibus Law; rakyat kembali ke jalan. Tapi pagar baja dan water cannon jadi jawaban. Pesan simboliknya jelas: "Kami dengar kalian, tapi jangan terlalu dekat. Demokrasi cukup dari kejauhan."

Saatnya Membuka Pagar

Gedung DPR bukan sekadar beton hijau; ia adalah cermin ideologi. Ia bisa menjadi benteng yang memisahkan, atau rumah yang menyatukan. Kalau demokrasi hanya dipahami sebagai pemilu lima tahunan, pagar itu akan tetap berdiri kokoh. Tapi bila demokrasi adalah akses, keterbukaan, dan ruang dengar, maka pagar itu harus diruntuhkan.

Bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kesadaran kolektif. Karena pagar tinggi itu bukan sekadar baja. Ia adalah simbol perampasan suara. Dan setiap simbol, cepat atau lambat, akan runtuh ketika rakyat menuntut kembali rumahnya sendiri.

Epilog

Di balik pagar tinggi Senayan, demokrasi sering terdengar bagai gema yang dipantulkan beton: samar, jauh, tak pernah benar-benar sampai ke telinga mereka yang duduk di kursi empuk. Tapi sejarah bangsa ini tidak pernah lahir dari ruang rapat yang hening. Ia lahir dari jalan, dari suara yang pecah di udara, dari langkah-langkah rakyat yang tak kenal lelah.

Maka, pagar itu sesungguhnya bukan akhir, melainkan tantangan. Bukan tembok kokoh, melainkan simbol rapuh yang menunggu untuk digugurkan oleh kesadaran bersama. Karena demokrasi sejati tidak bisa dipagari; ia hidup di setiap teriakan, di setiap keberanian, di setiap keyakinan bahwa rumah rakyat seharusnya terbuka bagi rakyat.

Dan ketika pagi baru tiba, kita tahu: pagar setinggi apa pun takkan mampu menahan cahaya.

Jkt/14092025/Ksw/145

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun