Â
Di Senayan, berdiri bangunan berkubah hijau yang sering disebut "kura-kura raksasa". Dari kejauhan ia tampak gagah, seakan mewakili kedaulatan rakyat. Namun semakin dekat, rasa itu hilang---diganti dengan pagar tinggi, aparat bersiaga, dan halaman luas yang membuat rakyat yang ingin mendekat justru merasa asing di rumahnya sendiri.
Gedung DPR memang bukan sekadar bangunan. Ia adalah arsitektur kekuasaan, sebuah desain ideologi. Dibangun dengan jarak, dan jarak itu menjelma jadi dinding mental antara rakyat dan wakilnya.
PrologÂ
Artikel ini adalah penulisan ulang dengan gaya naratif dari ide-ide artikel Mas Firasat Nikmatullah yang berjudul "Gedung DPR: Jauh dari Jalan, Jauh dari Rakyat, Dekat dengan Oligarki, pada 11 September 2025, di Kompasiana.
Saya tertarik menulis ulang karena artikel ini sangat inspiratif, memberi pemaknaan baru dari sisi rakyat jelata; yang sejatinya penguasa dan membangun "rumah" bagi mereka yang diberi Amanah untuk bekerja membangun bangsa.
Rumah yang sejatinya milik rakyat; untuk berteduh, mengadu dan mengeluh, mencurahkan perasaan gundah gulana saat beban ekonomi semakin menakan hidup; kini malah susah dijamah. Apalagi untuk singgah. Berbicara saja susah. Berteriak bersama kami sudah. Bahkan kami disambut dengan gas air mata, Lalu untuk apa gunanya kami memberikan Amanah untuk Anda semua? Karena sejatinya Amanah itu untuk dijalankan dan dipertanggungjawabkan.
Mas Firasat Nikmatullah artikel ini sepenuhnya milik Anda.
Dari CONEFO ke Benteng Kekuasaan
Bung Karno pernah bermimpi menjadikannya markas CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) tandingan bagi Barat dan Timur. Batu pertama diletakkan dengan visi besar, tapi sejarah berbelok. Orde Baru menyempurnakan, dan fungsinya berubah: dari ruang pertemuan dunia menjadi ruang rapat elite nasional.
Arsitek Soejoedi Wirjoatmodjo merancang kubah ikoniknya, tapi sejak awal semangatnya bukan keterbukaan. Pagar, gerbang, jarak; semuanya mencerminkan warisan Orde Baru: stabilitas di atas partisipasi, kekuasaan di atas keramaian rakyat.
Jarak yang Membungkam
Bandingkan dengan parlemen di negeri lain. Di Amerika, Capitol Hill berdiri di tengah kota, terbuka untuk piknik rakyat. Di Inggris, Westminster berdempetan dengan trotoar, protes bisa dilakukan hanya dengan berdiri di seberangnya. Di Jerman, Bundestag berlapis kaca, rakyat bisa naik ke atap untuk menatap langsung isi sidang.
Di Senayan? Gedung DPR berdiri 200 meter dari jalan utama. Rakyat yang berteriak di luar pagar hanya bisa berharap suara mereka tidak terpantul kembali oleh aspal. Yang masuk ke dalam ruang rapat bukanlah suara konstituen, melainkan gema buzzer.
Ruang Publik yang Tertutup
Di Islandia, gedung parlemen tak berpagar. Di Swedia, rakyat bisa masuk dengan prosedur sederhana. Di Kanada, halaman parlemen menjadi ruang berkumpul di hari besar.