Chapter 4
Harmoni yang Tersembunyi
Pagi itu, matahari sedikit berani menampakkan dirinya, memancarkan sinar lembut di antara awan-awan yang masih setia menggantung di langit. Alana kembali duduk di bangku taman yang sama, tapi kali ini ia tak hanya sekadar mendengarkan. Ia membawa sebuah buku catatan yang usianya sama dengan mimpinya yang dulu—tua, penuh coretan, namun kosong dalam beberapa tahun terakhir. Di buku itulah ia pernah menulis lagu-lagu, puisi-puisi, yang kini tampak seperti serpihan dari dirinya yang telah hilang.
Pria itu, yang kini Alana ketahui bernama Arga, duduk di sampingnya. Tangannya terus bermain di atas senar gitarnya, menciptakan alunan lembut yang menghiasi pagi. Suara itu menjadi latar bagi pikiran-pikiran Alana yang berputar, mencoba mencari cara untuk mulai lagi. “Bagaimana kau menemukan nada yang hilang itu?” tanya Alana tiba-tiba, tatapannya tertuju pada buku catatannya sendiri.
Arga berhenti bermain, memandangnya dengan tatapan tenang, lalu berkata, “Kita tak pernah benar-benar kehilangan melodi kita. Ia selalu ada, hanya saja terkadang terkubur oleh kebisingan atau rasa sakit. Untuk menemukannya lagi, kau harus mendengarkan apa yang tak terdengar.”
Alana terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Mendengarkan apa yang tak terdengar? Apa artinya? Bagaimana mungkin ia bisa mendengarkan sesuatu yang tak ada? Namun, di sudut hatinya, Alana tahu apa yang Arga maksud. Ada banyak hal dalam hidupnya yang dulu ia abaikan, hal-hal kecil yang dulu membuatnya bahagia—tawa sederhana, momen-momen sunyi yang manis, impian yang perlahan memudar. Mungkin semua itu adalah bagian dari melodinya yang hilang.
Arga melanjutkan, “Aku dulu juga berpikir hidupku telah kehilangan harmoni. Tapi akhirnya, aku menyadari satu hal penting: terkadang, dalam diam, ada suara yang lebih jelas. Kita hanya perlu berhenti berlari dan mulai mendengarkan dengan hati.”
Alana memandangnya dengan mata yang penuh tanya. “Lalu bagaimana caranya mendengarkan?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
Arga tersenyum kecil. “Mulailah dari satu nada. Satu kata. Satu momen. Dari situ, kau akan mendengar irama yang perlahan-lahan kembali.”
Alana membuka buku catatannya, jari-jarinya bergetar saat ia mulai menulis sebuah kata—"Rindu." Satu kata yang begitu sederhana, namun penuh dengan rasa yang tak pernah hilang dari hatinya. Kata itu menjadi nada pertama, seperti langkah kecil menuju sesuatu yang lebih besar. Lalu kata-kata lain mulai mengalir, seperti air yang menembus bendungan setelah sekian lama tertahan. “Sunyi,” tulisnya, lalu “Cahaya,” dan kemudian, “Cinta.” Setiap kata yang ditulisnya membawa memori-memori yang telah ia lupakan, seperti potongan-potongan melodi yang tersembunyi di balik kabut.