Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bedah Kasus Psikologi dengan Teori Psikologi Positif dan Humanistik (Part II)

17 April 2021   20:06 Diperbarui: 17 April 2021   20:12 2467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan galau. Foto: winnetnews.com.

Psikologi Positif

Psikologi positif adalah salah satu model terapi dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Psikologi positif memiliki kemiripan dengan model teori humanistik. Akan tetapi -- sesuai dengan namanya -- psikologi positif lebih berusaha menggunakan hal-hal positif -- pengalaman-pengalaman positif yang dialami klien -- sebagai basis proses terapi. Tidak seperti model terapi pada umumnya -- di mana selalu straight to the problem -- psikologi positif berusaha menampilkan model yang baru dalam aktivitas konseling.

Pengalaman-pengalaman dicintai, mendapat pengharagaan, dipuji, serta yang beratribut menggembirakan lainnya dijadikan sebagai sarana untuk menerapi klien. Psikologi positif pertama kali diperkenalkan oleh profesor psikologi Universitas Penssylvania, Amerika Serikat, Martin Seligman. Pada tahun 1996, ia diangkat menjadi Ketua Asosiasi Psikologi Amerika. Kasus yang dialami Jessica, hemat saya dapat diterapi menggunakan model psikologi ini. Fokus terapinya adalah pada kesadaran Jessica akan pengalaman-pengalaman positif yang ada dalam dirinya.

Sejatinya, yang menjadi problem di mana Jessica hadir sebagai pribadi yang cenderung misorientation adalah kurangnya apresiasi terhadap diri sendiri. Hal-hal positif, seperti pengalaman keberhasilan dalam tugas tertentu tidak mendapat perhatian sedikit pun oleh Jessica. Maka, tugas konselor dalam menangani problem Jessica adalah dengan menstimulus penghadiran kembali pengalaman-pengalaman positif dalam diri dan berusaha membangun suatu prospek. Klien tidak akan disuguhi pertanyaan "Apa masalah Anda?" tetapi lebih memberikan ruang bagi dirinya untuk leluasa menceritakan pengalaman-pengalaman postif atau menggembirakan dalam kehidupanya. Hal ini -- salah satunya -- membantu klien untuk tidak menyalahkan pihak lain atau dirinya sendiri ketika datang kepada konselor.

Ia (klien) hanya diperkenankan untuk mengingat pengalaman-pengalaman postif -- misalnya dalam kasus si Jessica; Jessica diminta untuk mere-narasikan pengalaman keberhasilannya ketika masih duduk di bangku kuliah atau pengalaman keberhasilan lain yang membuatnya lebih optimis dalam menanggapi berbagai persoalan. Menurut Seligman, kehilangan orientasi dalam kehidupan atau merasa frustrasi, umumnya dikarenakan oleh kurangnya sikap optimis dalam diri. Dalam bahasa Carl Jung, diri perlu ditemukan dalam sikap optimis yang dibangun setiap hari. Jessica dalam hal ini terlalu bersikap pesimis dengan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri. Logika psikologi positif adalah praktis dan sederhana.

Misalkan, ketika kita hanya memperhatikan bagian-bagian tertentu dalam tubuh, dengan sendirinya kita akan kehilangan relasi dengan anggota tubuh yang lain. Kita berusaha untuk fokus pada kepala, sedangkan kaki atau organ yang lain tidak. Seharusnya, ada keseimbangan perhatian antara yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain -- dalam kasus tubuh -- tubuhlah sebetulnya yang menyembuhkan kita, yakni dengan memberi perhatian yang seimbang pada anggota tubuh lainnya. Demikian halnya dengan Jessica.

Jessica seharusnya mengapresiasi hal-hal kecil yang menunjang keberhasilannya dalam hidup. Standar yang terlalu mencekik leher kadang akan membuat kita frsutrasi dan kehilangan orientasi dalam hidup. Standar yang hampir menyundul langit, menunjukkan bahwa seseorang yang egois, karena ia akan melakukan apa saja untuk mencapai apa yang digapainya dan mengabaikan hal-hal sederhana yang sebetulnya sudah ikut ambil bagian dalam mendorong tercapainya target atau high standard dalam metro hidupnya.

  

Teori Humanistik

Hemat saya, kasus Jessica juga bisa menggunakan pendekatan humanistik dalam proses terapeutiknya. Model terapinya adalah dengan memusatkan perhatian seluruhnya pada potensi yang dimiliki klien. Kita berusaha meyakinkan klien tentang potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Tujuannya adalah agar Jessica mampu menyadari potensi yang ada dalam diri dan berusaha memberi apresiasi atas kemampuan yang dimilikinya itu. Proses aktualisasi diri seseorang justru mencapai tahap kepenuhannya ketika potensi-potensi yang ada dalam diri difungsikan.

Dalam kasus di atas, mungkin Jessica hanya menggunakan potensi tertentu, lalu fokus pada yang satu itu; seolah potensi yang lain tidak pernah memberi kesempatan bagi Jessica untuk merasa bangga atau puas dengan kemampuannya. Para profesional memakai pendekatan humanistik dalam membantu seorang individu untuk meningkatkan pemahaman diri melalui megalami perasaan-perasaan mereka. Model terapisnya adalah person-centered. Menurut Karl Rogers (1957), ada tiga kondisi dalam konseling dengan menggunakan pendekatan humanistik, antara lain empathy, positive regard dan congruence. Empati adalah kemampuan konselor untuk merasakan bersama dengan klien dan menyampaikan pemahamannya kembali kepada mereka. Empati adalah usaha untuk berpikir bersama dan bukan berpikir tentang atau untuk klien.   

Sedangkan positive regard yang dikenal juga sebagai akseptensi adalah genuine caring yang mendalam untuk klien sebagai pribadi -- sangat menghargai klien karena keberadaannya. Dan, kongruensi adalah suatu kondisi transparan dalam hubungan terapeutik dengan tidak memakai topeng. Tentunya persepsi tentang diri perlu ditransformasi. Jessica menilai dirinya kosong, hampa, tak berguna dan tidak menghasilkan apa-apa. Keyakinan pada diri sendiri -- bahwa Jessica pada dasarnya baik, memiliki kemampuan -- menjadi stimulus untuk membantu klien dari jerat keterasingan yang dibuatnya sendiri.

Dengan kata lain pertanyaan "Siapakah aku dikemukakan kembali?" Pendekatan humanistik yang diperkenalkan Carl Roger, sejatinya berusaha menyadarkan kepada setiap pribadi mengenai kekayaaan potensi yang ada dalam dirinya -- pada dasarnya manusia itu baik. Tujuan konselingnya, tentunya berusaha memberikan kebebasan kepada klien (Jessica) untuk mengekpresikan diri, membantu klien dalam membangun rasa percaya diri, terbuka dan berusaha untuk mencapai aktualisasi diri. Aktualisasi diri dengan hirarki kebutuhan yang dikemukakan Maslow akan membantu klien mencapai peak experience atau pengalaman puncak -- menikmati hasil atau mencapai standard yang yang dimimpikan.

Perbandingan Dua Teori

Kedua teori ini, hemat saya memberi kemungkinan besar bagi keberhasilan konseling antara koselor dan klien (Jessica). Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri, kedua teori ini juga memiliki kelemahan tertentu. Pertama, teori psikologi positif Martin Seligman. Teori ini mungkin dilakukan, jika klien sedikit berdamai dengan problemnya. Jika tidak, kekuatan ingatannya untuk mengakses pengalaman postif di masa purba akan terhenti atau tersendat oleh problem yang menderanya di saat sekarang. Klien akan merasa keberatan untuk menarasikan pengalaman positifnya dan cenderung untuk menyalahkan banyak pihak di luar dirinya dan melihat dirinya sebagai pusat masalah. Kedua, teori humanistik Carl Rogers. Teori ini sejatinya sangat membantu klien terutama dalam memberi apresiasi terhadap diri.

Tiga hal yang didambakan manusia dalam hidupnya -- dicintai, dihargai dan dipuji -- dirangkum dalam teori humanistik ini. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa teori ini adalah teori yang mumpuni dan sempurna. Kelemahan teori ini, hemat saya terletak pada konsep struktur aktualisasi diri. Dalam proses aktualisasi diri, seseorang harus mampu menjejali anak tangga dalam setiap level kebutuhan atau the hirarchy of needs Abrahm Maslow. Untuk sampai pada tahap dicintai, seseorang perlu melewati tangga awal, seperti kebutuhan manusiawi.

Lompatan pencapaian tertentu tidak diizinkan dalam mekanisme aktualisasi diri. Jika terjadi lompatan, maka proses mencapai peak experience akan terhenti. Contohnya, untuk mencapai pengalaman spiritual orang perlu melewati tangga pertama, yakni kebutuhan dasar: makanan, sex dll. Jadi, hemat saya, kedua teori ini sama-sama berjuang untuk mencapai sebuah keberhasilan dalam proses konseling. Akan tetapi, keberhasilan penggunaan teori juga sangat tergantung pada praktik rambu-rambu dan karakteristik-karakteristik tertentu yang dibangun bersama antara klien dan konselor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun