Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hizbiyah dan Politik Islam

4 November 2020   12:29 Diperbarui: 4 November 2020   12:32 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Situasi politik di Mesir di abad ke-20, seperti merebaknya kapitalisme dan membuka peluang masuknya budaya sekular (Barat-Pemerintah Kolonial) menciptakan erosi terhadap nilai-nilai Islam tak terhindarkan. Mohammed Zahid dalam "The Muslim Brotherhood and Egypt's Succession Crisis" (2010) menyebutkan bahwa bagi Hasan al-Banna, organisasi liberal, berbagai majalah, atheisme, buku-buku, dan surat kabar yang gencar mempromosikan budaya sekular saat itu sangat memengaruhi cara pandang societas Mesir terhadap Islam.

Pemikiran politik al-Banna, sangat dipengaruhi oleh kedudukan bangsa kolonial (Inggris) di Mesir. Inggris menerapkan sistem politik saat itu untuk mengikat Mesir agar bersatu dengan pemerintahannya. Model politik yang diterapkan pemerintah kolonial ini akhirnya berhasil, terutama dalam mengontrol komposisi pemerintahan dan administratif Mesir.

Maka, dibentuklah sistem demokrasi liberal -- menjamurnya partai politik dengan ideologi individual dan kelompoknya. Sistem pemerintahan parlementer dengan demokrasi liberal yang direkayasa Inggris menciptakan banyak kompetisi dan friksi di antara masyarakat. Sistem multi partai dengan latar Mesir yang belum merdeka, membuat persatuan, dan kesatuan sebagai bangsa terpecah. 

Sistem multi partai -- menurut al-Banna -- tidak sesuai dengan ajaran Islam. Munculnya partai-partai baru pada dasarnya, tidak untuk kepentingan nasional, dan atas inisiatif pribadi dan kelompok tertentu. Maka, al-Banna menolak sistem koalisi partai, yang banyak menimbulkan pertikaian dan friksi di antara masyarakat.

Untuk itu, al-Banna menerapkan beberapa gagasan berkaitan dengan politik, yakni konsep dakwah dan konsep tarbiyah. Adapun beberapa prioritas dari dakwah Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan al-Banna, antara lain: 1) pembentukan diri muslim sejati, 2) terciptanya keluarga Islami, 3) terciptanya masyarakat Islam, serta 4) terciptanya pemerintahan Islam.

Dakwah dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain dengan media pemberitaan, seperti surat kabar, majalah, buku, dan media elektronik. Sedangkan konsep tarbiyah adalah sebuah model pembinaan yang berlandaskan pada ajaran Islam. Sistem tarbiyah menyediakan rumusan, tahap-tahap perjuangan, strategi serta substansi pendidikan bagi kadernya.

Konsep tarbiyah mencakup rumusan ideologis (mabda), paham keagamaan (aqidah), cita-cita politik, sosial, kultural serta cara meraihnya (M Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS: 2008). Dalam tujuh prioritas Ikhwanul Muslimin disebutkan dua prioritas penting lainnya, yakni mengembalikan kejayaan Islam di kancah internasional dan melakukan dakwah ke seluruh dunia demi memberantas kesesatan. Hal ini tentunya diadopsi hingga sekarang oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia.

Selain itu, dalam konsep tarbiyah, al-Banna juga berbicara mengenai muktamar. Muktamar adalah suatu model pembinaan yang bertujuan membantu umat memahami hak-haknya dan menyadarkan bangsa pada tuntutannya yang benar. Maka, tujuan tarbiyah muktamar adalah 1) kemampuan untuk berdiskusi, 2) kemampuan untuk mengambil keputusan, 3) memahami gejolak politik, dan 4) perhatian terhadap lingkungan sosial. Konsep tarbiyah atau pendidikan politik Islam, pada dasarnya mendorong orang untuk kembali ke ajaran-ajaran, norma-norma dan nilai-nilai Islam.

Dalam konsep tarbiyah dikenal istilah usrah sebagai sebuah sistem pendidikan politik yang memaksa setiap orang untuk selalu berantisipasi terhadap berbagai bahaya yang akan menyerang Islam. Dalam pemikiran Hasan al-Banna, politik terbagi dalam dua pemahaman yang terkait dengan hizbiyah (kepartaian), yang terdiri dari politik internal dan politik eksternal. Politik internal memiliki arti bagaimana pemerintahan menjalani roda pemerintahan dengan baik, benar, dan transparan. Menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mengsosialisasikan berbagai kebijakan dan memberikan kesempatan pada setiap unsur masyarakat untuk mengontrolnya sehingga tercipta suatu "check and balance." Dalam hal mengatur pemerintahan seperti ini, Islam telah menetapkan kaidah-kaidah.

Adapun politik eksternal, dalam konteks bagaimana membangun peradaban dan harga diri umat; diantaranya bagaimana menjaga kebebasan dan kemerdekaan umat, menanamkan rasa percaya diri dan kewibawaan umat. Maka konsekwensinya, umat harus terbebas dari segala macam penjajahan, agar dapat berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain demi terwujudnya perdamaian internasional.

Lebih jauh Hasan al-Banna menegaskan bahwa dasar pijakan politik Islam adalah sistem "syura." Syura merupakan sesuatu yang sangat penting, karena merupakan landasan untuk mengambil sebuah keputusan. Pemahaman seperti di atas merupakan bagian dari pemikiran Hasan al-Banna. Baginya politik tak selamanya harus identik dengan partai politik.

Adapun alasanya menurut al-Banna bahwa kepartaian dan politik bisa bersatu dan berbeda sama sekali. Al-Banna mencontohkan, seorang politisi tidak mesti terlibat langsung dalam struktur partai politik. Demikian juga sebaliknya, seseorang yang secara stuktural masuk dalam kepengurusan partai belum tentu dia mengerti dengan baik apa itu politik.

Dan, ada juga orang yang memang mengerti politik dan terlibat secara intensif dengan partai politik. Sejak awal kemunculan multi partai di Mesir telah membuat societas Mesir tetap terjerembab dalam kemelaratan yang permanen. Hal ini karena orientasi kepartaian saat itu lebih berciri individual dan berwajah kelompok elitis tertentu -- kompetisi dan friksi.

Hassan al-Banna disebut-sebut sebagai neo-salafie dengan pemikiran tiga pandangan dasar, yaitu 1) Islam adalah sebuah sistem komprehensif yang mampu berkembang sendiri, 2) Islam memancar dari dua sumber fundamental, yaitu al-Quran dan al-Hadis, dan 3) Islam berlaku untuk segala waktu dan tempat.

Untuk  mengembangkan konsep itu, al-Banna memulai langkahnya dengan konsep "tarbiyah nafsiahi" (pembinaan jiwa) dengan metode pendidikan qur'ani sembari bersandar juga secara kuat kepada kategorisasi al-Hadis. Dalam pandangan al-Banna, keutamaan Islam bagi umat manusia terwujud dalam pemberian metode yang tepat dan sempurna bagi pendidikan rohani, pendidikan generasi, pembentukan umat, dan pembangunan budaya, serta penerapan prinsip-prinsip kemualiaan dan "madaniyah." 

Artinya bagaimana pembentukan generasi "rabbani" masa depan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai iman dan akhlak. Pembentukan generasi rabbani direduksi dari teks-teks al-Quran dan al-Hadis memerlukan tanggung jawab mutlak di mana satu sama lain mempunyai kaitan yang sangat erat.

Al-Banna membagi fase pembinaan dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu 1) fase pengenalan seluruh lapisan masyarakat, 2) fase pembentukan kader (marhalah al-takwin) dari elemen pilihan yang sudah terkumpul, dibentuk regu-regu pejuang dakwa, 3) fase realisasi (marhalah al-tanfidz) dengan melakukan gerakan (harakah) dakwah bersama-sama mewujudkan hukum Allah SWT di muka bumi.

Pemikiran politik al-Banna juga terbagi dalam tiga kelompok, yakni 1) reformasi sosial -- segala bentuk perubahan dimulai dari diri sendiri 2) tidak adanya pemisahan antara agama dan negara -- kepemimpinan rangkap dalam sebuah pemerintahan, dan 3) sya'riat Islam sebagai undang-undang tertinggi dalam pemerintahan Islam -- Islam sebagai agama paripurna mempunyai tataran nilai hukum yang wajib ditaati semua umat Islam.

Ideologi Ihkwanul Muslimin dengan gamblang menunjukkan orientasi pergerakan prospektif dinamika politik. Jembatan antara aspek spiritual yang diendapkan melalui ajaran Islam dimasukkan ke dalam berbagai orientasi kebijakan politik kelas wahid. Kita melihat model pergerakan PKS di Indonesia. PKS mampu meraih kursi di parlemen dengan cepat. Hal ini tentunya dilatarbelakangi oleh orientasi perpolitikan PKS yang mengusung ideologi Ikhwanul Muslimin yang didirikan al-Banna.

Walaupun jelas-jelas berorientasi pada ideologi dukung Islam, societas Indonesia tetap menyumbangkan sesuatu untuk kelanggengan partai ini.  Hal ini mempermudah menjaring calon dan mempengarui opini publik di mana organisasi ini hadir dan menyapa masyarakat.

Pengaruh keras nilai-nilai keagamaan menjadi unsur penting dalam melicinkan laju pergerakan Ikhwanul Muslimin sebagai partai dakwah. Dengan ajaran-ajaran agama Islam, konsep politik akhirnya terakumulasi dalam iklim politik dengan alih-alih harmoni, kedamaian dan ketaatan kepada Allah SWT. 

Menurut Munawir Sjadjali, terdapat tiga hal yang melatarbelakangi munculnya pemikiran politik Islam Kontemporer. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor-faktor internal yang berakibat pada munculnya gerakan-gerakan pembaruan dan purifikasi. Kedua, pengaruh rong-rong Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau kolonialisasi oleh negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam; di mana hal ini mengakibatkan rusaknya hubungan yang akur antara Islam dan Barat dan ketiga, keunggulan wilayah Barat akan teknologi, pengetahuan dan organisasi.

Ketiga hal ini kemudian menjadi awal kebangkitan berbagai organisasi berwajah politik yang berusaha menjadi oposisi dari pemerintah. Dengan kata lain, kejayaan yang pernah digapai Islam dengan khalifahnya menjadi target ekspektasi dari berbagai ideologi dan organisasi Islam Kontemporer. Dalam berbagai prospek yang diusung sebuah organisasi ke-Islam-an, refren kembali ke situasi kejayaan adalah hal ikhwal yang diperjuangkan.

Pada tahun 1990-an -- ketika krisis ekonomi dan politik di Mesir merebak -- kehadiran organisasi Muslimin Brotherhood menjadi pijar kebangkitan Mesir dari wabah krisis. Dengan menggandeng ideologi Islam dan bentuk pemerintahan yang berakar pada ajaran Islam, Ikhwanul Muslimin mampu menjadi oposisi pemerintah, terutama dalam memanage berbagai kebijakan yang tidak tepat sasaran. Berbagai persoalan mulai menjamur di awal abad ke-21, terutama berkaitan dengan kisruh internal berbagai partai, kurangnya transparansi dalam mengelola finansial negara serta merebaknya korupsi.

Kekhasan organisasi Ikhwanul Muslimin adalah kemampuannya untuk memetakan berbagai persoalan politik dengan menyuntik berbagai ajaran Islam yang hanya menyentak hati dan indera societas dari balutan luar. Ketika organisasi rintisan al-Banna ini berkembang dari sebuah organisasi yang hanya berkutat di bidang spiritualitas, banyak orang mulai terlibat dan mengadopsi gagasan-gagasan dan ajarannya.

Bahkan Indonesia -- diwakili oleh Partai Keadilan Sejahtera -- dan negara-negara lain di Semenanjung Arab serta Benua Hitam berlomba-lomba mengadopsinya. Bagi societas Mesir yang hidup di penghujung abad ke-20, organisasi Ikhwanul Muslimin tidak boleh hanya berhenti pada sebuah organisasi spiritual belaka, tetapi harus berani ikut melumpur dalam berbagai ritual dan politic games di Mesir. Dengan berlandaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam, "Muslim Brotherhood" mampu menembus pasaran politik dunia dan mampu membuat sebuah transformasi berskala masif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun