"Lho...kenapa,sayamg?" kaget kupeluk dia
"Mbak..ayo ke rumah sakit. Mas Ben, mbak!" tangisnya pecah.
"Hah?" gugupku tak terbendung. Â Â
Kugeret sandal seadanya di teras rumah. Tergesa kukunci rumah. Â Tak dapat kudefiniskan kecamuk di hatiku.
Entah beasal dari mana, tiba-tiba aku tersengat kekhawatiranku sendiri.
Tuhan, tolong jaga dia. Tolong jaga dia... hampir sepanjang jalan  aku membatinkan kalimat itu. Aku berusaha tenang menyetir, karena Dwita sambil menangis lebih keras, dia mengabarkan bahwa kakak semata wayangnya mengalami kecelakaan tunggal di daerah jalan berkelok di perbukitan Bedugul sana.   Tak jelas suaranya tadi, tapi aku menangisinya saat ini.Â
***
Dwita, mahasiswi semester awal tersebut, berusaha menelan tangisnya saat kami berlari kencang menuju ruang UGD.
"Saya keluarganya Benny Susatya, suster." Dwita hampir teriak, kupeluk dia. Suster menengok sekilas.
"Oh...tolong urus dulu pendaftaran pasiennya. Dia di ICU" Hatiku tak seimbang...
"Segera urus dulu," terasa samar kudengar suara perawat. Tapi aku tidak boleh pingsan.