Kompasianer, pernahkah kamu mendampingi orang terdekat yang mengalami demensia? Bagaimana rasanya? Sebagai caregiver, apa suka duka yang paling sering dialami?
"Bu, tadi pagi kita sudah jalan-jalan, ingat?" sang anak mencoba meyakinkan. Namun sang ibu hanya menggeleng, lalu kembali bertanya hal yang sama. Di situlah kesabaran diuji, sekaligus cinta semakin terasa.
Beginilah keseharian seorang caregiver demensia, Kompasianer. Tidak mudah memang. Ada hangatnya bisa menemani, tetapi ada juga lelah yang kadang sulit diungkapkan.
Sayangnya, di masyarakat masih banyak yang menganggap demensia sebagai bagian dari penuaan. Faktanya, anggapan itu keliru. Banyak lansia tetap sehat dan produktif di usia lanjut. Sering lupa memang bisa menjadi tanda awal, tetapi tidak selalu berarti demensia.
Itulah mengapa peran caregiver begitu penting. Menjadi pendamping bukan sekadar merawat, melainkan juga belajar sabar menghadapi pertanyaan berulang, belajar ikhlas menerima perubahan, dan belajar kuat ketika emosi terasa di ujung batas.
Tak hanya pada demensia, menjadi caregiver bagi penderita penyakit kronis seperti kanker atau stroke pun butuh ketelatenan ekstra, karena perawatan jangka panjang kerap menguras fisik dan mental.
Setiap orang yang menjalani peran ini pasti punya kisahnya sendiri. Ada tawa kecil yang jadi penyemangat, ada tangis yang hanya diketahui oleh diri sendiri.
Bagaimana denganmu, Kompasianer? Jika kamu pernah berada di posisi ini, mari bagikan kisah juga curahan hatimu dengan menambahkan label Menjadi Caregiver (menggunakan spasi).
Ingat, ceritamu bisa menjadi penguat bagi mereka yang sedang berjuang di jalan yang sama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI